Rocky Gerung menyindir para importir farmasi terkait PCR (foto: Illustrasi/FNN)
Pewarta Satu — Pengamat yang juga aktivis oposisi, Rocky Gerung, menyindir pemerintah terkait kebijakan mengenai pemberlakuan tes PCR yang berubah-ubah. ‘Kebijakannya memang harus berubah – ubah, tentu saja berdasarkan konklusi kesehatan, yaitu kesehatan bisnis para importir farmasi,” kata Rocky melalui channel RG Official — Forum News Network di Youtube, yang dikutip Pewarta Satu, Selasa petang (9/11).
Dipandu wartawan senior Hersubeno Arif, yang menanyakan tentang rencana pemerintah kembali akan mewajibkan tes PCR, Rocky Gerung nampak tidak heran. Ia menyebut kemungkinan, bagaimana dengan stock PCR yang sudah dipesan, bahkan mungkin ada yang sudah dibayar.
Pada dasarnya, sebagaimana sudah dikemukakan Presiden Jokowi, bahwa ancaman Covid 19 bisa sampai Desember atau bahkan lebih lama lagi. Karenanya, Rocky memperkirakan tentu ada persiapan politik untuk itu yang diparalelkan dengan ketersediaan instrumen tes PCR (polymerase chain reaction).
”Kita tahu itu, dari kemarin kita sebut farmaco politic, yaitu bisnis farmasi demi kepentingan politik dan kepentingan politik yang dibiayai bisnis farmasi,” sindir Rocky Gerung.
Di tengah sorotan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah terkait bisnis tes PCR, di mana nama dua menteri, Menko Marinves Luhut B.Panjaitan dan Menteru BUMN Erick Thohir mendapat sorotan, pemerintah mengumumkan akan memberlakukan kembali kewajiban tes PCR ini.
Menko Luhut Binsar Panjaitan, Senin (8/11) mengatakan pemerintah sedang mengkaji untuk menerapkan kembali kebijakan kewajiban RT-PCR test bagi masyarakat yang akan melakukan perjalanan.
Pemerintah, kata Luhut, akan mempertimbangkan jumlah mobilitas masyarakat dan kenaikan kasus jelang Natal dan Tahun Baru. Hal ini untuk mengantisipasi lonjakan kasus pada akhir tahun.
Rocky Gerung dan Hersubeno Arif sama menyorot data statistik BPS sejak Januari — Agustus 2021 yang mencatat impor instrumen PCR selama delapan bulan itu mencapai 203,2 ton dengan nilai 31,99 bjuta US atau setara dengan Rp452,98 Miliar. Namun yang besar sekali nilainya adalah impor instrumen reagen sebesar 4.315 ton dengan nilai 516,09 US atau setara dengan Rp7,3 Triliun. Dari jumlah yang diimpor, tertingginya berasal dari negeri China.
Rocky mengaitkan rencana mewajibkan kembali tes PCR ini dengan upaya menghabiskan stok senilai Rp7,3 Triliun itu.
Terkait data statistik di atas, Rocky terus terang mengatakan tentu ada perencanaan perencanaan di situ. Kalau masalah penanganan tes PCR ini dikatakan sekadar kegiatan sosial, filantropi, ngapain mereka harus membuat perusahaan baru. BUMN Farmasi bisa saja menangani itu.
”Membuat perusahaan baru, dengan tujuan philantrophi, dengan skala yang besar sekali Di situ masalahnya. Diminta kesadaran masyarakat memahami ini. Tidak bisa, harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata mantan dosen Filsafat Universitas Indonesia itu.
Mengulas berbagai reaksi, baik dari pihak Menko Marves Luhut Panjaitan maupun Ercik Thohir terkait sorotan masyarakat terhadap mereka, baik yang dilakukan secara personal maupun secara offensif dengan, misalnya, mengerahkan buzzer buzzer menyerang Tempo sebagai media yang pertama mengungkap di balik bisnis PCR ini, Rocky mengakui, pengadilan rakyat itu susah dilawan.
”Ya…karena hati nurani rakyat membaca kecurangan kecurangan itu. Gak ada orang yang menganggap ini soal biasa. Ini karena dari awal kita intip, bagaimana kebijakannya berputar putar, kita ditakut takuti,sampai kita dipaksa padahal semua itu tidak logis. Antre di depan loket tiket, tapi di dalam pesawat berdesak desakan,” kata Rocky lagi.
Menjawab pertanyaan Hersu, Rocky memperkirakan dampak dari bisnis tes PCR di mana relawan Jokowi sendiri ikut menyorot dan mempersoalkannya, bisa bisa akan terjadi perang antar geng nanti. Masyarakat lebih baik melihat dan menunggu saja bagaimana kasus ini nanti diambilalih polisi. (ram)