Jakarta, Pewartasatu.com
Kapal barang Rwabee milik Uni Emirat Arab yang disewa Arab Saudi yang dibajak pemberontak Houthi Yaman yang dibajakĀ sejak 2 Januari 2022 hingga saat ini belum dibebaskan dengan alasan karena kapal itu membawa senjata untuk Koalisi Arab dalam mendukung legitimasi di Yaman.
Bahkan menurut pejabat milisi Houthi, Hussein Al-Azzi yang dilansir media Arab News Sabtu (15/1/2022) lalu, muatan kapal tersebut bukan kurma atau mainan anak-anak, tetapi sarat dengan senjata.
Sementara kondisi Chief Officer Surya Hidayat Pratama, salah satu awak kapal asal Indonesia yang ikut ditahan hingga kini belum ada kepastian kapan akan dibebaskan. Namun menurut berita yang dimuat beberapa media setempat, Surya berada dalam kondisi baik di sebuah hotel di Yaman.
Pengamat Maritim Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa S.SiT yang dihubungi Pewartasatu.com, Selasa (18/1/3022) mengakui bahwa ada risiko yang dihadapi para pelaut ketika melewati daerah konflik seperti perang antara Koalisi Arab Saudi dan Pemberontak Yaman ini. Namun menurut dia, Indonesia punya Perpu No. 23. Tahun 1959 sebagai pengganti UU No. 74 tahun 1957 yang sedikit banyak bisa menjelaskan situasi tersebut.
“Perang pemberontakan di Yaman sudah berlangsung selama 6 tahun. Artinya, setiap Pelaut WNI yang sign on di kapal negara-negara yang terlibat pertempuran di Yaman dan berlayar di area pertempuran atau konflik tersebut, tentunya memahami risiko yang akan dihadapi, bila kapalnya terlibat langsung dalam konflik,” kata Capt.Ā Hakeng.
Salah satu anggota Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) ini menduga, apa yang dilakukanĀ para pemberontak Houti di Yaman ini merupakan bagian dari strategi perang mereka saat ini. Kenyataan bahwa hanya kapal-kapal berbendera koalisi yang menjadi target para Pemberontak Houti di Yaman menguatkan dugaan bahwa apa yang dilakukan oleh para pemberontak Houti di Yaman adalah bagian dari startegi perang mereka.
“Kita harus berkaca bahwa Negara Indonesia pun memiliki Perpu No. 23. Tahun 1959 sebagai pengganti UU No. 74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya dimana pasal 37 di Perpu tersebut menggambarkan bahwa pemerintah dalam situasi perang dapat mengambil langsung Kapal-Kapal niaga berbendera Indonesia dan dijadikan sebagai kapal perang Indonesia (Kapal untuk keperluan perang),” paparnya.
Ke depan, lanjut dia, perlu ada edukasi khususĀ bagi para Pelaut Indonesia, supaya mereka paham risiko yang dihadapi, Disamping itu menurut Capt Hakeng, para pelaut Indonesia yang bertugas di daerah rawan konflik yang dilalui harusnya mendapatkan tambahan kompensasi dari luar penghasilan pokok yang diterima.
“Selain itu premi asuransi juga bertambah bila melewati wilayah konflik (war risk zone). Karena faktor risiko bertambah, tapi kebanyakan asuransi kapalnya yang bertambah sedangkan tambahan penghasilan bagi pelautnya seringkali dilupakan,” jelasnya.
Masih menurut Hakeng, hal itu sesuaiĀ dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, BAB III Perekrutan dan Penempatan Pelaut Ke Tempat Tujuan Atau Ke Kapal Dan Pemulangan (Repatriasi) Bagian Kedua Pasal 20.
Pasal tersebut, kata dia, menyebutkan bahwa jika perusahaan keagenan awak kapal menempatkan pelaut di atas kapal yang berlayar melalui wilayah rawan konflik, maka pemilik dan operator kapal melalui perusahaan keagenan awak kapal wajib memberi kompensasi tambahan yang besarnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama antara pemilik operator kapal dengan serikat pekerja.
Hal lain yang dicermati oleh Capt. Hakeng mengenai tanggung jawab agen kapal yang mempekerjakan awak kapal WNI bernama Surya Hidayat Pratama, Chief Officer untuk membebaskan pelaut Indonesia tersebut.
“Saya mendesak Agen kapal yang memberangkatkan Surya Hidayat Pratama secara intensif melakukan komunikasi dengan Pemerintah RI dalam hal ini Kementrian Luar Negri, agar Kemenlu dapat melakukan koordinasi dengan Pemerintah Yaman,” tukasnya.
“Saya juga mendesak agar Agen Kapal dapat memberikan informasi up to date perihal perkembangan situasi terkini yang diketahuinya serta dapat melakukan komunikasi dengan perusahaan UEA selaku pemilik kapal (negara bendera kapal). Upayakan semaksimal mungkin dapat membebaskan awak kapal WNI dari tahanan pemberontak Houthi,” pungkasnya.
Sebelumnya Pengamat Maritim, Laksamana Madya Sulaiman Ponto berpendapat bahwa
posisi para awak kapal yang ditawan tersebut dapat disebut sebagai tawanan kapal yang dibajak atau tahanan perang.
Pasalnya, Arab Saudi saat ini dalam kondisi berperang di wilayah tersebut dan kapalnya ditahan oleh pemberontak Yaman atau Houthi.
“Kapal Rwabee berbendera UEA dan disewa oleh Arab Saudi. UEA dan Arab Saudi masuk dalam koalisi yang berperang dengan pemberontak Houthi. Jadi bisa berbeda versi status dari awak kapal yang ditahan oleh Houthi. Apalagi menurut versi Arab Saudi kapal tersebut dibajak, jadi status awak kapal adalah disandera oleh Pemberontak Houthi,” kata Sulaiman Ponto di Jakarta, Selasa (18/1/2022).
Namun menurut versi Pemberontak Houthi kapal tersebut adalah kapal militer, karena mengangkut perlengkapan militer yang ditangkap dalam operasi militer.
“Jadi bukan tidak mungkin bila awak kapal berpotensi dianggap sebagai tahanan perang atau prison of war (POW),” lanjut mantan KaBais ini.
“Mengenai sampai kapan para sandera khususnya pelaut Indonesia dapat dibebaskan sangat tergantung pendekatan dari pemerintah Indonesia. Yang menangkap harus dapat diyakinkan bahwa yang ditangkap itu bukan warga Arab Saudi,” pungkasnya.(Arif)
Belum Dibebaskan, Pelaut Indonesia di Kapal Rwabee Berpotensi Jadi Tahanan Perang
Jakarta, Pewartasatu.com
Kapal barang Rwabee milik Uni Emirat Arab yang disewa Arab Saudi yang dibajak pemberontak Houthi Yaman yang dibajak sejak 2 Januari 2022 hingga saat ini belum dibebaskan dengan alasan karena kapal itu membawa senjata untuk Koalisi Arab dalam mendukung legitimasi di Yaman.
Bahkan menurut pejabat milisi Houthi, Hussein Al-Azzi yang dilansir media Arab News Sabtu (15/1/2022) lalu, muatan kapal tersebut bukan kurma atau mainan anak-anak, tetapi sarat dengan senjata.
Sementara kondisi Chief Officer Surya Hidayat Pratama, salah satu awak kapal asal Indonesia yang ikut ditahan hingga kini belum ada kepastian kapan akan dibebaskan. Namun menurut berita yang dimuat beberapa media setempat, Surya berada dalam kondisi baik di sebuah hotel di Yaman.
Pengamat Maritim Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa S.SiT yang dihubungi Pewartasatu.com, Selasa (18/1/3022) mengakui bahwa ada risiko yang dihadapi para pelaut ketika melewati daerah konflik seperti perang antara Koalisi Arab Saudi dan Pemberontak Yaman ini. Namun menurut dia, Indonesia punya Perpu No. 23. Tahun 1959 sebagai pengganti UU No. 74 tahun 1957 yang sedikit banyak bisa menjelaskan situasi tersebut.
“Perang pemberontakan di Yaman sudah berlangsung selama 6 tahun. Artinya, setiap Pelaut WNI yang sign on di kapal negara-negara yang terlibat pertempuran di Yaman dan berlayar di area pertempuran atau konflik tersebut, tentunya memahami risiko yang akan dihadapi, bila kapalnya terlibat langsung dalam konflik,” kata Capt. Hakeng.
Salah satu anggota Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) ini menduga, apa yang dilakukan para pemberontak Houti di Yaman ini merupakan bagian dari strategi perang mereka saat ini. Kenyataan bahwa hanya kapal-kapal berbendera koalisi yang menjadi target para Pemberontak Houti di Yaman menguatkan dugaan bahwa apa yang dilakukan oleh para pemberontak Houti di Yaman adalah bagian dari startegi perang mereka.
“Kita harus berkaca bahwa Negara Indonesia pun memiliki Perpu No. 23. Tahun 1959 sebagai pengganti UU No. 74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya dimana pasal 37 di Perpu tersebut menggambarkan bahwa pemerintah dalam situasi perang dapat mengambil langsung Kapal-Kapal niaga berbendera Indonesia dan dijadikan sebagai kapal perang Indonesia (Kapal untuk keperluan perang),” paparnya.
Ke depan, lanjut dia, perlu ada edukasi khusus bagi para Pelaut Indonesia, supaya mereka paham risiko yang dihadapi, Disamping itu menurut Capt Hakeng, para pelaut Indonesia yang bertugas di daerah rawan konflik yang dilalui harusnya mendapatkan tambahan kompensasi dari luar penghasilan pokok yang diterima.
“Selain itu premi asuransi juga bertambah bila melewati wilayah konflik (war risk zone). Karena faktor risiko bertambah, tapi kebanyakan asuransi kapalnya yang bertambah sedangkan tambahan penghasilan bagi pelautnya seringkali dilupakan,” jelasnya.
Masih menurut Hakeng, hal itu sesuai dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, BAB III Perekrutan dan Penempatan Pelaut Ke Tempat Tujuan Atau Ke Kapal Dan Pemulangan (Repatriasi) Bagian Kedua Pasal 20.
Pasal tersebut, kata dia, menyebutkan bahwa jika perusahaan keagenan awak kapal menempatkan pelaut di atas kapal yang berlayar melalui wilayah rawan konflik, maka pemilik dan operator kapal melalui perusahaan keagenan awak kapal wajib memberi kompensasi tambahan yang besarnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama antara pemilik operator kapal dengan serikat pekerja.
Hal lain yang dicermati oleh Capt. Hakeng mengenai tanggung jawab agen kapal yang mempekerjakan awak kapal WNI bernama Surya Hidayat Pratama, Chief Officer untuk membebaskan pelaut Indonesia tersebut.
“Saya mendesak Agen kapal yang memberangkatkan Surya Hidayat Pratama secara intensif melakukan komunikasi dengan Pemerintah RI dalam hal ini Kementrian Luar Negri, agar Kemenlu dapat melakukan koordinasi dengan Pemerintah Yaman,” tukasnya.
“Saya juga mendesak agar Agen Kapal dapat memberikan informasi up to date perihal perkembangan situasi terkini yang diketahuinya serta dapat melakukan komunikasi dengan perusahaan UEA selaku pemilik kapal (negara bendera kapal). Upayakan semaksimal mungkin dapat membebaskan awak kapal WNI dari tahanan pemberontak Houthi,” pungkasnya.
Sebelumnya Pengamat Maritim, Laksamana Madya Sulaiman Ponto berpendapat bahwa
posisi para awak kapal yang ditawan tersebut dapat disebut sebagai tawanan kapal yang dibajak atau tahanan perang.
Pasalnya, Arab Saudi saat ini dalam kondisi berperang di wilayah tersebut dan kapalnya ditahan oleh pemberontak Yaman atau Houthi.
“Kapal Rwabee berbendera UEA dan disewa oleh Arab Saudi. UEA dan Arab Saudi masuk dalam koalisi yang berperang dengan pemberontak Houthi. Jadi bisa berbeda versi status dari awak kapal yang ditahan oleh Houthi. Apalagi menurut versi Arab Saudi kapal tersebut dibajak, jadi status awak kapal adalah disandera oleh Pemberontak Houthi,” kata Sulaiman Ponto di Jakarta, Selasa (18/1/2022).
Namun menurut versi Pemberontak Houthi kapal tersebut adalah kapal militer, karena mengangkut perlengkapan militer yang ditangkap dalam operasi militer.
“Jadi bukan tidak mungkin bila awak kapal berpotensi dianggap sebagai tahanan perang atau prison of war (POW),” lanjut mantan KaBais ini.
“Mengenai sampai kapan para sandera khususnya pelaut Indonesia dapat dibebaskan sangat tergantung pendekatan dari pemerintah Indonesia. Yang menangkap harus dapat diyakinkan bahwa yang ditangkap itu bukan warga Arab Saudi,” pungkasnya.(Arif)