Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nasheh /foto: muhammdiyah.or.id
JAKARTA. Pewartasatu.com – Semua agama memiliki ritual puasa. Karena itulah, di dalam Islam di mata rantaikan, bahwa kewajiban puasa bagi kaum muslimin itu sebagaimana kewajiban dan praktek yang dilakukan oleh umat-umat sebelumnya.
Artinya bahwa dalam Islam perintah puasa itu juga dikaitkan dengan tradisi puasa umat-umat beragama yang lain.
Pada titik ini sesungguhnya yang membedakan hanya cara atau syariatnya. Tetapi substansi dan tujuannya sama.
Tujuannya bagaimana kita menjadi insan-insan beragama yang saleh, yang hasil dari puasa itu memancarkan kesalehan kita bukan hanya untuk diri kita tapi untuk orang lain dan kehidupan semesta disekitar kita.
Sehingga, puasa bukan sekedar mengubah jadwal makan minum dan sebagainya atau sekadar perbuatan lahir, karena apalah artinya belajar kita secara fisik itu menahan puasa. Tujuannya justru adalah memperkokoh pertahanan diri manusia itu sendiri dari hawa nafsu.
Di Islam puasa bermakna menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan biologis yang sah di siang hari sejak terbit matahari hingga terbenam.
Menahan diri dari hal-hal yang indrawi, duniawi yang sehari-hari itu sebenarnya halal, boleh, dan baik tidak ada yang tidak baik. Tapi kita belajar untuk menahannya. Kenapa harus menahan?
Karena ada watak dari nafsu itu indrawi sebagai bagian dari dunia. Dunia yang dekat itu sering membuat manusia masuk dalam perangkap indrawi dan perangkap duniawi yang kemudian dia menjadi hina. Dunia bisa membuat manusia hina.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang meniti kehidupan dan karir, bahkan ada yang hidup dari masjid ke masjid kemudian setelah berada di atas jatuh karena skandal. Skandal moral dan sebagainya.
Jadi jatuhnya itu sebenarnya memutus mata rantai panjang dari perjalanan hidup dia yang tanda petik.
Sepanjang perjalanan dia sebenarnya dia belajar puasa dalam kehidupan tetapi di puncak dia jatuh, nah kenapa itu terjadi?
Karena dia tidak bisa mengambil jarak dari nafsu indrawi dan nafsu duniawi yang akhirnya, dia bukan menjadi aktor yang menguasai indrawi itu tapi dia menjadi objek penderita dari dunia.
Akibatnya dia menjadi berbuat yang naif dan hina dan akhirnya jatuh.
Hawa nafsu ini, tidak mengenal agama dan suku bangsa, bahkan usia. Hawa nafsu itu induk dari semua berhala.
Sehingga segala petaka kehidupan kita dalam diri yang bersifat personal maupun dilingkungan keluarga kemudian di masyarakat, bangsa dan dunia itu bermula dari hawa nafsu yang tak terkendali dan mengendalikan kita.
Contoh dalam hawa nafsu kepemimpinan. Sejarah menunjukkan, kekuasaan yang diampu terlalu lama akhirnya jatuh pada kuasa tahta yang membuat diri akhirnya menjadi ada yang diktator, otoriter. Orang yang awalnya baik menjadi menyimpang.
Kemudian kita lihat orang-orang yang bermula berbisnis dengan baik, halal, dan wajar lalu keuntungan dengan keuntungan begitu rupa akhirnya mengeksploitasi alam, tenaga kerja, dan siapapun diperas demi keuntungan. Dan itu terus berlanjut.
Juga hawa nafsu yang bersifat biologis. Manusia punya itu tetapi ketika dia tumpah ke segala arah hasrat-hasrat itu juga akan membuat manusia menjadi seperti binatang yang melata.
Maka ajaran luhur dari puasa agama, sebenarnya agar manusia itu menjadi khalifah atas nafsunya sendiri.
Agar dia menjadi orang yang mampu mengelola, mendidik, mengedukasi, bahkan mengekang dan mengendalikan dirinya sendiri agar dia tidak dikendalikan hawa nafsunya.
Sampai ke titik puncak. Hawa nafsu itu dalam Islam disebut, tidak ada puncak perbudakan diri itu selain menuhankan hawa nafsunya.
Pada titik inilah sebenarnya puasa menjadi Mi’raj Ruhani bagi setiap orang beragama.
Caranya tidak membunuh hawa nafsu itu tetapi memperkokoh basis keruhanian kita yang paling esensial yang kemudian membentuk akal budi agar dia tangguh terhadap merah meronanya hawa nafsu yang selalu ingin menggerogoti kita.
Meski begitu, pada dimensi natural, hawa nafsu itu ada sisi positif. Hawa nafsu itu membuat manusia menjadi manusia bukan malaikat.
Jadi ada hasrat-hasrat yang dimiliki manusia membuat dia ingin lebih baik, menjadi orang yang berinteraksi dengan sesama, laki-laki dan perempuan.
Tetapi itu tadi ada batas-batas yang harus dijaga. Nah puasa menjaga itu.**
Sumber: Disarikan dari kuliah Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Forum Sekolah Lintas Iman, Rabu (20/4) malam.