Para Finalis putri Indonesia 2022. ((Foto: Humas)
JAKARTA, Pewartasatu.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyambut 44 Finalis Puteri Indonesia 2022 yang datang dari berbagai daerah.
Menteri PPPA mengajak para finalis untuk dapat terlibat dalam upaya penyelesaian permasalahan perempuan dan anak di Indonesia.
Dintaranya dengan melakukan advokasi dan sosialisasi mengenai isu perempuan dan anak ke masyarakat, menyuarakan kebijakan di daerah yang belum menjamin perlindungan perempuan dan anak, serta melakukan sinergi dan kolaborasi dengan pihak – pihak terkait.
“Meskipun saat ini berbagai perubahan positif telah dirasakan oleh perempuan, nyatanya nilai-nilai patriarki yang masih kuat dan mengakar.”
Hal ini masih membuat perempuan dari segala usia mengalami ketimpangan dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya, berpartisipasi dalam pembangunan, dan menerima manfaat pembangunan dalam berbagai bidang.
Perempuan masih mengalami stereotype, diskriminasi, marginalisasi, subordinasi dan bahkan kekerasan.
“Berbagai hal tersebut membuat kelompok perempuan secara umum masih tertinggal dari laki-laki, padahal memiliki potensi dan kekuatan yang sama,” kata Menteri PPPA dalam sambutannya pada Acara Pembekalan Finalis Puteri Indonesia 2022, di Jakarta, Senin (23/5).
Menteri PPPA menuturkan beberapa ketimpangan yang masih dirasakan perempuan, antara lain Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang masih terpaut jauh dari laki-laki, hampir 30%.
Perempuan juga lebih banyak bekerja di sektor informal dibandingkan laki-laki, yang sayangnya seringkali tidak memiliki standar upah yang layak serta tidak tersambung dengan jaring pengaman sosial.
“Prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak, apalagi anak perempuan, juga masih sangat memprihatinkan,” ujar Menteri PPPA.
Hal ini ditunjukkan melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2021 yang menunjukkan, meski prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan usia 15-64 tahun oleh pasangan dan selain pasangan menurun 7,3% dalam kurun waktu 5 tahun.
Namun terjadi peningkatan prevalensi kekerasan seksual oleh selain pasangan dalam setahun terakhir dari 4,7% pada tahun 2016 menjadi 5,2% pada tahun 2021.
Sedangkan, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menunjukkan bahwa Kekerasan masih lebih banyak dialami oleh anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.
Dari segi pendidikan, masyarakat cenderung memilih menghentikan pendidikan anak perempuan ketimbang anak laki-laki karena diberikan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga atau bahkan dikawinkan.
Berdasarkan data BPS Tahun 2018, sekitar 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah pada usia anak (sebelum 18 tahun).
“Dengan besarnya permasalahan yang ada, tentunya pekerjaan kita belum selesai. Untuk dapat menyelesaikannya, kita perlu bekerja sama lintas sektor.”
“Baik sebagai pribadi maupun kelompok. Lalu, untuk mengikis berbagai stereotype yang ada, kita, sebagai perempuan, pertama-tama harus menyadari dan meyakini kekuatan kelompok kita sendiri,” ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA kemudian mengungkapkan beberapa upaya yang telah dilakukan oleh KemenPPPA, yang juga melibatkan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya.
Dintaranya yaitu menginisiasi model Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Pelakukan pendampingan maupun pelatihan kewirausahaan dan literasi digital bagi perempuan rentan.
Meningkatkan komitmen lintas sektor untuk menghapuskan perkawinan anak melalui Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA) serta berbagai MOU, dan memperkuat layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sebagai upaya memperkuat layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, KemenPPPA pada Maret 2021 lalu telah meluncurkan layanan hotline pelaporan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yaitu SAPA 129, yang dapat diakses melalui nomor telepon, WhatsApp, dan lainnnya.
“Selain itu, patut menjadi kegembiraan kita bersama, setelah penantian yang panjang, pada tanggal 9 Mei 2022, Bapak Presiden telah mengundangkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
UU ini merupakan UU lex specialist yang dapat memberikan perlindungan komprehensif terhadap korban kekerasan seksual dari hulu hingga ke hilir dengan mencegah segala bentuk kekerasan seksual.
Menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual,” kata Menteri PPPA.
Sementara itu, Finalis Puteri Indonesia 2022 Perwakilan DKI Jakarta 1, Perwakilan Kalimantan Timur, Perwakilan D.I. Yogyakarta, Perwakilan Banten 1, dan Perwakilan Aceh menyampaikan pendapat dan pertanyaannya kepada Menteri PPPA pada saat sesi dialog.
Beberapa hal yang disampaikan, yaitu terkait peluang kerja sama dengan komunitas yang telah dibangun oleh beberapa finalis yang berfokus pada isu sosial, terutama perempuan dan anak.
Kemudian, terkait pelecehan seksual di ruang publik, proses penanganan kasus – kasus di daerah yang terkadang masih terbentur birokrasi, kontribusi bidang sains dan teknologi dalam upaya pemberdayaan perempuan, serta program yang ke depannya akan dilakukan oleh KemenPPPA.
Pertanyaan yang juga disampaikan, yaitu terkait apakah delik mengenai pemaksaan kontrasepsi dalam UU TPKS tidak bertumpang tindih dengan program pengendalian penduduk BKKBN.
Dalam hal ini, Menteri PPPA menjawab akan disusun Peraturan Pemerintah (PP), dimana semua pengertian disusun dengan detil sehingga tidak terjadi multitafsir.
Lebih lanjut, Menteri PPPA mengungkapkan terbuka untuk melakukan sinergi dengan kelompok atau komunitas yang juga berfokus pada penyelesaian permasalahan isu perempuan dan anak.
Menteri PPPA juga mengajak kepada semua yang hadir pada acara Pembekalan Finalis Puteri Indonesia 2022 yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Untuk membantu mengadvokasi, mendukung isu – isu prioritas perempuan dan anak, serta turut mensosialisasikan UU TPKS, baik dalam skala nasional maupun internasional.
“Upaya menumbuhkan kesadaran pada semua pihak itu perlu dilakukan terus menerus, dan berkelanjutan. Kita masih harus menghadapi perempuan yang bahkan tidak tahu bahwa dirinya mengalami kekerasan, atau bahkan menyembunyikannya karena dinilai aib atau tabu.”
“Oleh karena itu, sosialisasi sangat penting. Terima kasih pada putri – putri yang juga sudah turun ikut serta menerangkan kepada masyarakat termasuk tentang bahaya kekerasan seksual,” ujar Menteri PPPA.(**)