Featured Politik

Haruskah Baperan Menghadapi Tudingan Politik Identitas? Dari Bedah Buku di Islamic Centre Bekasi

Buku Politik Identitas Karya Eman Sulaeman, aktivis dan cendekiwan muda Islam.//Foto: Al Kautsar

Oleh Ramly Amin

SEIRING  “membahananya” sambutan rakyat Indonesia dari seantero negeri terhadap pencalonan Anies Rasyid Baswedan (masih bakal calon-red) melaui Partai Nasdem, narasi politik indentitas pun semakin digaungkan.

Politik identitas yang sejatinya ada di mana-mana negeri, termasuk di tanah air, dari masa ke masa rezim penguasanya — bahkan di era Bung Karno sendiri yang lebih dikenal sebagai “politik aliran” – kini malah dipersoalkan.

Padahal secara faktual historikal, politik identitas itu sendiri mempunyai akar yang sangat kuat secara antropologis di dalam kehidupan manusia.

Bedah buku  yang digelar Yayasan Islamic Center Bekasi,  Rabu lalu (21/12), setidaknya berusaha membuka mata khalayak, bahwa politik identitas adalah sesuatu yang netral. Berpolitik dengan membawa latar belakang apapun, pandangan apapun, termasuk kesamaan agama  adalah sah-sah saja.

Buku “Politik Identitas – Dalam Perspektif Alquran dan Teori Modern”  ini ditulis seorang aktivis dan cendekiwan muda Islam, alumnus Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Eman Sulaiman, yang berasal dari disertasinya sendiri.

Dalam menelaah tentang teori dasar tentang identitas, selain merujuk pada  Solidaritas Sosial-nya (teori Ashabiyah) Ibnu Khaldun,  buku ini juga merujuk ke teori- identitasnya Sheldon Stryker dan Henri Tajfel

Diskusi bedah buku ini, secara khusus digelar Yayasan Islamic Center Bekasi – yang menurut Sekertaris Yayasan, ustad Drs Amin Idris — bersamaan dengan Re-Launching Perpustakaan Darul Ulum Islamic Center Bekasi.

Kenapa politik identitas dipersoalkan? Sampai-sampai banyak politisi nasional, bahkan ketua umum sementara partai politik yang nyata-nyata menyebut diri partai Islam dan berafiliasi Islam,  seperti tabu menyebutkannya.

Padahal politik identitas itu sesuatu yang boleh-boleh saja dilakukan. Sebab, identitas seseorang, sebuah masyarakat, sebuah bangsa sekali pun, sebagaimana disebutkan Fachry Ali dalam pengantar buku tersebut, berakar pada sesuatu yang bersifat primordial, yaitu tanda-tanda dan sifat bawaan sejak lahir.

Fachry menyebut, secara konseptual, identitas adalah sifat yang paling awal memengaruhi seseorang, masyarakat, dan sebuah bangsa sebelum datangnya pengaruh luar.

Menurut Eman, setidaknya berdasarkan riset yang dilakukannya, politik identitas sudah ada sejak tahun 1950-an di Amerika Serikat. Itulah cikap bakal politik identitas.

Tokohnya adalah Malcolm Little atau yang populer dikenal sebagai Malcolm X. Seorang politisi kulit hitam yang menyuarakan antidiskrimasi bagi kaum kulit hitam di Negeri Paman Sam.

Politik identitas sejatinya adalah politik aliran, yang merupakan istilah netral. Namun sebagaimana komentar seorang jurnalis senior, Hersubeno Arif, dalam wacana politik mutakhir, terutama pasca Pilkada DKI 2017, politik identitas mendapat makna peyoratif.

Mem-framing dan mendiskreditkan suatu golongan agama tertentu. Kalau kelompok lain memilih pemimpin berdasarkan latar belakang agama, itu “politik aliran”.

Bila kelompok kami yang melakukan, kata Hersu, itu bukan “politik aliran”. Sesimpel itu.

Eman Sulaiman dalam pengantar bukunya menyebut, isu politik identitas memang sengaja ditiupkan menghadapi kontestasi politik dalam hal pemilu dan pilkada.

Terlebih pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 lalu, hajat politik waktu itu terasa sangat riuh. Tak hanya euphoria karena event-nya, juga riuh dengan debat dan maraknya isu politik identitas dan isu sensitive lainnya terkait SARA.

Tak dipungkiri memang, di tengah masyarakat muncul polarisasi, bahkan pembelahan, pasca Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Sudah tentu, polarisasi dan pembelahan ini juga terjadi saat masyarakat dihadapkan pada isu-isu tertentu.

Dalam diskusi di Islamic Center Bekasi, polarisasi itu juga seperti ada dan tiada. Atau “terasa ada terkatakan tidak”.

Floor, untuk sebagiannya, menafsirkan isu politik identitas sengaja ditiupkan, dalam rangka memojokkan, bahkan mungkin menyerang kaum muslimin dalam menggunakan hak pilihnya.

Sementara sebagian lain mempertanyakan, kenapa kita harus baper-an ketika orang bicara politik identitas?

Adakah tudingan langsung, apalagi serangan, kepada kaum muslimin? Kalau tak ada, ya sudah, abaikan saja. Gak perlu bawa-bawa perasaan (baperan-red).

Gak usah baperan emang. Toh tidak ada larangan. Gak usah bereaksi terhadap berbagai tudingan apa pun. “Yang mau pakai politik identitas silakan. Tidak mau pakai politik identitas juga silakan,” kata Eman Sulaeman. (Ramly Amin)

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Comment