JAKARTA, Pewartasatu.com – Direktur Operasional PT Bahana Line, Ratno Tuhuteru mengungkapkan, ketidakberesan dengan PT Meratus Line dalam kerjasama pengadaan BBM dengan PT Bahana Loine mulai muncul saat 20 Desember 2021, di mana saat itu mereka tak mau lagi membayar tagihan bahan bakar minyak (BBM) dengan berbagai alasan tetapi terus mengorder. Bahkan pihaknya sempat terus memasok kebutuhan BBM PT Meratus hingga mencapai nilai tagihan sebesar Rp 50 miliar lebih.
“Pada batas itu, Dirut PT Bahana Line, Hendro Suseno sempat marah dan menghentikan pasokan BLM ke Meratus. Saya juga sempat marah-marah, lah tidak dibayar kok masih disuplai BBM-nya. Tanpa mengindahkan hubungan, kami yang harus juga memikirkan perusahaan terpaksa menghentikanu pasokan tersebut,” kata Retno saag menjadi saksi pada sidang kasus dugaan penggelapan BBM di PN Surabaya pada Senin (06/2/2023) .
“Cash flow kami dengan Meratus sekitar Rp 30 miliar sampai Rp 35 miliar saja. Kebiasan dari Meratus tidak seperti itu, karena kemampuan tidak cukup kami stop, ketika kami nagih tahu-tahu seperti itu (bermasalah),” tambah Ratno dalam perkara dugaan penggelapan BBM yang dilakukan oleh 17 oknum karyawan PT Meratus Line dan Bahana itu.
Selain Ratno, persidangan tersebut juga menghadirkan Direktur Utama PT Bahana Line; Hendro Suseno, Komisaris; Sutino Tuhuteru, dan Sultan; bagian Pengawalan uang ke bank. Mereka hadir sebagai saksi dalam perkara dugaan penggelapan BBM yang dilakukan oleh 17 oknum karyawan PT Meratus Line dan Bahana.
Dari keempat saksi tersebut, tidak satu pun yang mengetahui adalah perkara dugaan penggelapan oleh oknum karyawan kedua perusahaan, hingga mereka dipanggil polisi untuk dimintai keterangannya.
Pada sidang yang berlangsung hingga malam itu juga makin terungkap motif PT Meratus yang berusaha mengkaitkan Direksi PT Bahana dalam kasus internal karyawannya. Dan juga semakin menguatkan dugaan jika ketidaksedian Meratus Line membayar utang ke Bahana Line akibat kelemahan manajemen terhadap karyawannya sendiri.
Ratno Tuhuteru bahkan mengancam akan mempolisikan Dirut Meratus Slamet Rahardjo dan internal auditornya Fenny Karyadi. “Yang Mulia, kami geram sekali dengan cara Dirut Meratus Slamet Rahardjo dan Fenny Karyadi yang memaksa mengkaitkan kami terlibat, padahal tidak ada bukti sama sekali. Kami sedang mempertimbangkan untuk melaporkan secara Pidana tuduhan tersebut,” kata Ratno.
Menurutnya, secara sengaja PT Meratus terus mengorder minyak tanpa mau membayar sampai senilai Rp 50 miliar. “Selama ini kami melayani sebagai priority customer malah menggerogoti dengan ngemplang utang. Sampai Dirut kami suruh stop melayani karena sudah sampai Rp 50 miliar tidak dibayar,” kata Ratno Tuhuteru.
Pada kesempatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Estik Dilla dan jaksa Uwais Deffa awalnya menanyakan mengenai job description masing-masing saksi. Secara bergiliran, keempat saksi menerangkan mengenai kewenangan jabatan masing-masing.
Setelah itu, jaksa mulai bertanya mengenai perkara hingga mereka menjadi saksi dalam kasus ini. Secara seragam, masing-masing saksi awalnya tidak mengetahui permasalahan 17 orang terdakwa itu, hingga pada waktu tertentu mereka dimintai keterangan polisi dalam perkara penggelapan BBM yang menjerat para oknum karyawan kedua perusahaan.
“Awalnya saya tidak tahu, baru tahu ketika adanya pemeriksaan polisi soal penyelewengan BBM,” ujarnya yang dijawab anggukan kepala oleh ketiga saksi lainnya.
Ratno juga menjelaskan, bahwa sebagai Direktur yang membidangi pengawasan, ia tidak pernah mencium adanya ketidak beresan dalam berbisnis dengan PT Meratus Line. Selama dirinya menjabat, hubungan bisnis perusahaannya dengan PT Meratus selalu berjalan dengan baik. “Selama ini ya baik-baik saja. Apalagi, Meratus ini termasuk customer priority sampai akhirnya tidak mau bayar Rp 50 miliar,” ucapnya.
Masih menurut Ratno, selama ini dalam hal pembayaran Meratus selalu berpatokan pada flowmeter miliknya. Sehingga, dalam perkara ini dapat timbul Purchasing Order (PO) dua kali. Pertama sifatnya order estimasi, yang kedua berbasis catatan riil dari flowmeter PT Meratus.
“Meratus berpatokan pada masflowmeternya dia, jadi dia akan bayar sesuai masflowmeter sesuai dengan angka yang diterima. Semua pakai standar Dia tapi tetap tidak mau bayar,” ujarnya.
Saat ditanya apakah selama ini pihaknya sudah berupaya menagih ke Meratus? Ratno menyatakan bahwa hal itu sudah berkali-kali dicoba. “Saya bahkan sempat bertanya langsung pada manajemen Meratus, namun selalu mengelak membayar dengan berbagai alasan,” tukasnya.
Usai sidang, Ratno kepada media juga mengungkapkan keanehan internal audit PT Meratus yang awalnya mengaku rugi Rp 501 miliar kemudian Rp 94 Miliar dan berubah Rp 93 Miliar. “Lebih aneh lagi mereka memasalahkan penghasilan saya mencapai Rp 6 miliar dan Dirut PT Bahana Line Rp 14 miliar selama tiga sampai empat tahun berjalan,” pungkasnya.
Diperingatkan Majelis Hakim
Sementara dalam sidang terpisah, pengacara dari oknum karyawan PT Meratus Line, Ade Dharma sempat beberapa kali diperingatkan Ketua Majelis Hakim Sutrisno. Salah satunya momen saat ia mengejar keterangan Edy Setiawan terdakwa yang pada saat itu menjadi saksi.
Dalam kesempatan itu, Ade sempat mempertanyakan mengenai penghasilan saksi Edy terkait penjualan BBM ilegal tersebut. Pada awalnya, Edy menjawab ia perbulan dapat mengantongi hingga Rp 50 juta hingga Rp 80 juta, bersih.
Keterangan Edy ini sempat dibantah oleh Ade dengan membenturkannya pada keterangan Edy dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di Kepolisian. Dalam BAP, diterangkan Edy dapat meraup Rp 450 juta perbulannya. Namun hal itu langsung dibantah Edy. “Kenapa bisa berbeda dengan yang di BAP? Jadi mana yang benar,” tanya Ade.
Hal itu langsung dijawab Edy, bahwa keterangannya dalam persidangan inilah yang benar. Jawaban Edy ini terkesan masih belum dapat diterima Ade. Namun, Hakim Sutrisno mengingatkan Ade jika Edy pada saat ini tidak boleh ditekan karena kapasitasnya adalah saksi.
Hakim juga menegur ketika Ade berusaha mengejar pembenaran soal aset harta benda milik Edy yang diterangkannya seperti dalam BAP. Ade menyebutkan, bahwa ada sejumlah uang dan beberapa sertifikat yang didapat Edy dari hasil penggelapan BBM ini. Namun, Edy yang istrinya pernah melaporkan kasus penyekapan dirinya di KP3 Perak dengan tersangka Dirut PT Meratus Slamet Rahardjo lagi-lagi berkelit, jika sebagian harta miliknya yang disita polisi bukan dari hasil penggelapan BBM.
“Dari Dodik dan David (terdakwa lain), berupa uang tunai Rp570 jutaan dan satu sertifikat (tanah) di Putat Jaya. Kalau sertifikat di Sukamanunggal itu punya (saya) lama. (Sertifikat) Di Petemon punya istri, bukan pemberian Dodi dan David. Di driyorejo juga punya istri,” tegasnya.
Pengacara Ade yang tak terima dengan jawaban Edy ini, lalu meminta pada Edy agar mendekat ke meja jaksa untuk ditunjukkan keterangannya dalam BAP. Tindakan Ade ini lagi-lagi mendapat teguran dari Ketua Majelis Hakim Sutrisno. “Jangan salahkan kami kalau itu tidak tercatat nantinya. Karena ini bukan ruang diskusi. Ini persidangan, ada kami (hakim) disini,” tegas Hakim.(**)