Lima pimpinan KPK (2019-2023) usai dilantik Presiden Jokowi, masing-masing Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, dan Nurul Ghufron.//Foto: kompas.com
JAKARTA. Pewartasatu.com — Empat hakim konstitusi, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih tidak setuju masa jabatan pimpinan KPK diubah dari semula empat tahun menjadi lima tahun.
Dalam hal ini mereka mempunyai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari lima hakim konstitusi yang menyetujui masa jabatan pimpinan KPK diubah menjadi lima tahun.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terkait masa jabatan pimpinan KPK.
Dengan demikian, masa jabatan pimpinan KPK diubah dari semula empat tahun menjadi lima tahun.
“Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya,” kata hakim konstitusi Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan secara daring, Kamis (25/5).
KPK saat ini dipimpin Firli Bahuri sebagai Ketua, yang masa jabatannya berakhir Desember tahun ini. Bahkan seperti diungkapkan Mensesneg, Pratikno, saat ini pemerintah sedang membentuk Pansel untuk persiapan pemilihan pimpinan KPK yang akan datang.
Auxiliary State Organ
Enny Nurbaningsih dkk menyinggung KPK yang merupakan lembaga negara independen, yang meskipun keberadaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi dipandang penting secara konstitusional khususnya untuk memberantas korupsi.
Dalam pertimbangannya, Enny berujar KPK memang dianggap penting namun lembaga itu tetap merupakan lembaga yang dibentuk karena upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan penegak hukum belum optimal.
Status KPK, dengan demikian, adalah lembaga negara bantu (auxiliary state organ) yang mempunyai fungsi pendukung atau penunjang kompleksitas dari fungsi lembaga negara utama (main state organs).
Enny menyatakan argumentasi yang dibangun oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron selaku pemohon sama sekali tidak menyinggung mengenai keterkaitan masa jabatan pimpinan KPK dalam konteks kelembagaan.
Dalil Ghufron mengutarakan, masa jabatan pimpinan KPK lebih singkat dibandingkan dengan beberapa lembaga nonkementerian lain berdampak pada munculnya anggapan kedudukan KPK lebih rendah.
Menurut penilai Enny, argumen Ghufron itu asumsi belaka karena tidak ditopang bukti-bukti yang cukup dan meyakinkan.
Padahal, terang Enny, karakteristik independensi kelembagaan KPK tetap dijamin tanpa ada keterkaitan dengan masa jabatan pimpinan.
“Terlebih lagi berkenaan dengan masa jabatan sejumlah komisi atau lembaga ternyata terdapat ketidakseragaman dalam pengaturannya,” kata Enny.
Misalnya pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 tahun; anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 tahun; masa jabatan anggota KPPU adalah 5 tahun; masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5 tahun; anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama 5 tahun; dan masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 tahun.
Enny menilai ketidakseragaman mengenai masa jabatan komisi negara di Indonesia tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum dan diskriminatif serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagaimana didalilkan Ghufron.
“Argumentasi perubahan periodesasi masa jabatan pimpinan KPK selayaknya dikaitkan dengan desain kelembagaan. Namun, pemohon menitikberatkan dasar pengujian pada adanya pelanggaran hak konstitusional,” tutur Enny.
“Padahal pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK juga mengandung ketentuan yang secara tersirat memberi jaminan atas hak-hak bagi orang yang terpilih sebagai pimpinan KPK,” sambungnya.
Perlindungan hak yang dimaksud adalah hak atas kejelasan masa jabatan yaitu selama empat tahun dan hak dapat dipilih kembali untuk satu periode masa jabatan.
Enny dkk setidaknya mempunyai dua argumentasi merespons penjelasan Ghufron yang membandingkan masa jabatan pimpinan KPK dengan lembaga negara lain.
Pertama, terang Enny, upaya mengubah masa jabatan pimpinan lembaga negara sebaiknya dikaitkan dengan desain kelembagaan dan bukan berkenaan dengan ketidakadilan dan perlakuan yang tidak sama antara masa jabatan satu pimpinan lembaga negara dengan masa jabatan pimpinan lembaga negara lainnya.
“Kedua, apabila yang disoroti dalam membangun argumentasi mengenai pengubahan masa jabatan pimpinan lembaga negara adalah kerugian hak dari pemohon sebagai pimpinan KPK atas perlakuan yang tidak sama, maka sesungguhnya pemohon membangun dalil mengenai ketidakadilan tanpa mempertimbangkan hak orang lain yang juga berminat untuk mengajukan diri sebagai calon pimpinan KPK,” ucap Enny.
Enny menambahkan keputusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan Ghufron perihal pengubahan masa jabatan pimpinan KPK dari semula empat tahun menjadi lima tahun, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara.
Dalam kondisi demikian, menurut dia, Mahkamah akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk Undang-undang untuk menentukannya.
“Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat petitum pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk memaknai norma Pasal 34 UU 30/2002 menjadi “Pimpinan KPK memegang jabatan selama lima tahun” adalah tidak beralasan menurut hukum sehingga seharusnya Mahkamah menolak permohonan pemohon a quo,” pungkas Enny.**
Sumber: CNNIndonesia