Megawati, Ahok dan Jokowi. (Foto: Ist)
Oleh: Saiful Huda Ems (SHE).
Tahun 2016, saya sudah memberitahu Ahok melalui adiknya (Fifi Lety) kalau yang merekayasa Aksi 212 itu sebenarnya Jokowi. FPI hanyalah proxy Jokowi saja. Kenapa saya tau soal itu? Karena menjelang Demo 212, saya diprovokasi terus menerus oleh lingkaran utama Jokowi (Ring 1 istana) untuk mau mengungkap kasus-kasus Ahok seperti skandal RS. Sumber Waras, gratifikasi reklamasi pantai dll. meskipun tidak pernah saya layani kemauan mereka. Sampai kemudian terjadilah Aksi 212.
Waktu saya bertemu Ahok ketika sama-sama berada di ruang tunggu persidangan kasus penodaan agamanya, juga saya beritahu kalau Ahok pasti akan tetap “masuk” karena ini sudah menjadi bagian dari skenario istana. Lalu mengapa Jokowi sampai tega ingin memenjarakan Ahok ketika itu? Ini karena Ahok dianggap akan menjadi batu sandungan bagi Jokowi untuk melenggang ke istana di Pilpres selanjutnya (2019).
Ahok juga dianggap sebagai kerikil dalam sepatu bagi Jokowi yang ingin tetap dipandang sebagai pemimpin nasional yang adil, tidak mau melindungi siapapun yang melakukan pelanggaran hukum, termasuk penodaan agama. Padahal sejatinya Ahok saat itu sama sekali tidak bermaksud melakukan penodaan atau pencelaan terhadap agama, namun Jokowilah yang malah berusaha untuk mendorong Ahok agar masuk di pusaran fitnah besar itu.
Melalui orang-orang terdekatnya Jokowi, saya waktu itu sudah berusaha terus menerus untuk mengingatkan Jokowi agar tidak mengorbankan Ahok, sebab bagaimanapun Ahok itu pendukung militan Jokowi dan kehadiran Ahok saat itu dapat mengimbangi pengaruh pergerakan kaum radikal, intoleran. Sayangnya, Jokowi tetaplah Jokowi, politisi yang haus kekuasaan dan serakah akan jabatan, maka apapun akan tetap dilakukannya termasuk mengorbankan Ahok.
Tahun demi tahun telah berjalan dan Jokowi terlihat semakin serakah, tamak, angkuh dan brutal. Jika sebelumnya Jokowi tak mau disaingi popularitas dan prestasinya oleh Ahok, Jokowi setelah berhasil menyingkirkan Ahok dari Peta Politik Nasional (walaupun Ahok saat itu hanya sebagai Gubernur DKI Jakarta), brutalitas Jokowi mulai melompat jauh yakni ingin menggusur pengaruh Ibu Megawati Soekarnoputri dari PDIP.
Maka mulai diatur PDIP agar mau menerima skenario yang berikutnya, yakni menjadikan Prabowo sebagai Presiden 2024 dan Ganjar Pranowo sebagai Cawapresnya. Keinginan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Bu Megawati dan Mas Ganjar Pranowo. Maka gagallah bertubi-tubi skenario Jokowi.
Jokowi hanya berhasil menjalankan skenario pertama yakni memenjarakan Ahok, namun gagal di skenario berikutnya, yakni ingin menjabat tiga periode dan terakhir ingin memaksakan PDIP untuk mendukung Prabowo-Ganjar sebagai Capres-Cawapres 2024.
Bu Megawati memang bukan politisi kaleng-kaleng, jika mau jujur Bu Megawati sesungguhnya pelopor utama gerakan Reformasi ’98. Beliau satu-satunya Ketua Umum Partai Politik yang berani menolak Soeharto untuk dicalonkan kembali sebagai Capres di Pemilu 1997. Bu Megawati pula juga yang paling berani terdepan menghadapi Rezim Orde Baru dari unsur Partai Politik. Ini saya bicara bukan hanya sebagai salah satu saksi melainkan pula sebagai salah satu pelaku Sejarah Reformasi ’98.
Sebelum saya maju ke persidangan untuk menjadi saksi yang meringankan bagi tersangka Sri Bintang Pamungkas dalam Peristiwa Pertemuan di Berlin Jerman April 1995, dimana saat itu saya sebagai salah satu inisiator pertemuannya, saya sebagai Warga Nahdliyin alumni Jerman sekaligus alumni Ponpes Tebuireng, menghadap ke Gus Dur untuk meminta izin beliau mendukung perjuangan Mas Sri Bintang Pamungkas, melalui peran saya sebagai saksi yang meringankannya di PN Jakarta Pusat.
Namun apa yang terjadi? Saya diminta oleh Gus Dur untuk tidak mendukung perjuangan Mas Sri Bintang Pamungkas, sebab Rezim Soeharto masih sangat kuat. “Untuk apa melawan Pak Harto? Ingatlah di sebrang itu sangat kuat”. Begitu kata Gus Dur ke saya di akhir tahun 1995 itu di kantor PBNU Jakarta Pusat. Sayapun akhirnya pamit dengan rasa sedih, lalu saya segera ke Cibubur untuk menemui Mas Sri Bintang Pamungkas di rumahnya.
Saat tiba dirumahnya, Mas Bintang bertanya ke saya,”Gimana dik, hasil pertemuannya dengan Gus Dur tadi?”. Saya sejenak menghela nafas, awalnya mau saya katakan yang sejujur-jujurnya ucapan Gus Dur, namun di mata saya terbayang jutaan kaum yang tertindas. Sayapun kemudian berkata bohong ke Mas Bintang,”Oh, Gus Dur sangat mendukung sekali perjuangan Mas Bintang, dan saya diizinkan oleh beliau untuk menjadi saksi yang meringankan bagi Mas Bintang”. Mas Bintangpun tertawa senang dan merasa didukung, sebelum akhirnya masuk penjara Cipinang hingga tahun 1998.
Apa yang saya kisahkan itu bukan berarti saya ingin mengatakan bahwa Gus Dur bukanlah pahlawan atau tokoh Reformasi ’98, bukan itu maksud saya. Gus Dur bagaimanapun tetaplah pahlawan dan tokoh Reformasi ’98 dalam perannya yang lain, yakni penguatan civil society dan tokoh pejuang demokrasi yang tak boleh diragukan lagi. Namun untuk soal adu keberanian melawan Rezim Soeharto, yang paling terbukti juara itu ya Ibu Megawati Soekarnoputri.
Sejarah Indonesia sudah mencatatnya dengan baik, bagaimana Ibu Megawati sangat dahsyat memimpin pemberontakan rakyat kecil melawan kesewenang-wenangan Rezim Soeharto. Jika sudah demikian, maka jangan ragukan lagi bagi Ibu Megawati Soekarnoputri untuk bisa menghancur leburkan berbagai intrik Presiden Jokowi. Bagi Bu Megawati hal itu sangatlah kecil sekali.
Persoalannya, Bu Megawati itu memang paling berani berhadap-hadapan dengan penguasa, namun kita semua juga tau bahwa Bu Megawati itu juga paling takut jika rakyat atau bangsa ini yang akan menjadi korbannya. Maka tunggu saja, seperti apa Ibu Megawati bersama PDIP nya nanti menyikapi mantan anak buahnya yang durhaka, setelah dua periode menjadi Presiden Indonesia dengan berbagai kecurangan atau manipulasi-manipulasi hukum dan politiknya. Selamat berjuang Ibu, kami mendukung penuh perjuanganmu ! Merdeka !…(***)
Minggu, 10 Maret 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pengamat Politik. Saksi dan Pelaku Sejarah Reformasi ’98.