Aceh, Penjaga Pintu Utama Jalur Rempah

PEMBENTUKAN Jalur Rempah sudah sangat tua, jauh lebih tua dari pembentukan Jalur Sutra, yakni jalur perdagangan yang episentrumnya berada di China, khususnya jalur Sutra Maritim, yakni sekitar abad ke 2 SM dengan tujuan Timur Tengah dan Eropa.

Sedangkan jalur rempah sudah dimulai sejak 10.000 SM dari Asia – Timur Tengah – Eropa, dengan episentrum kepulauan Maluku. Jalur Rempah menggunakan jalur laut, yang jika kita lihat pada peta perdagangan tua, kemungkinan besar melalui Selat Malaka, yang berarti ada saatnya berhimpitan dengan Jalur Sutra; melewati Selat Sunda dan Selat Lombok yang bertemu dengan Samudera Hindia masuk Barus dan kota-kota pelabuhan sepanjang pantai Barat-Selatan Aceh, yang kemudian berlanjut ke Asia Selatan, Tanjung Harapan, Timur Tengah dan Eropa.

Keniscayaan geografis Aceh, menjadikan Aceh sebagai penghasil rempah dan sekaligus sebagai penjaga pintu lalu litas Jalur Rempah dari episentrumnya di Maluku ke Eropa. Jalur tersebut, bagi Aceh bukan saja Jalur Rempah, tetapi juga jalur perdagangan dalam artian luas, jalur diplomasi politik dan penjajahan, jalur keilmuan, jalur keagamaan (penyebaran agama-agama dan jalur pergi menuntut ilmu, sekaligus naik haji), dan migrasi manusia.

Di Aceh muncul koloni-koloni dagang dan pemukim dari berbagai bangsa: India, Cina, Afrika, Arab, Yahudi, dan Eropa; sementara dari bangsa-bangsa di Nusantara: ada Melayu, Jawa, Bugis dan Ambon.

Aceh sebagai negara tradisional keislaman tumbuh menguat (abad 16-18), membangun hubungan dan kerjasama dengan Kesultanan Usmani Turki, kerajaan di Eropa. Jadi Jalur Rempah bagi Aceh, di satu pihak, juga merupakan jalur diplomasi politik internasional Kesultanan Aceh; dan di lain pihak, Aceh menanggung tanggungjawab situasi keamanan di Asia Tenggara (Sumatera dan Semenanjung Melayu).

Salah satu wilayah di Sawai, Manusela, Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Kepulauan rempah di Maluku masih banyak menyimpan rahasia sejarah Jalur Rempah yang pernah memutar perdagangan dunia (Ist)
Aceh muncul  sebagai pengontrol situasi perekonomian, politik, budaya dan keagamaan di Kawasan Asia Tenggara.

Efek Jalur Rempah terhadap kepulauan Nusantara menjadi arena pusat kompetisi dagang, politik, budaya dan keagamaan. Negara-negara tradisional di Nusantara menjadi bagian dalam kompetisi global (ekonomi, politik dan budaya), misalnya Aceh menjadi bagian dari politik internasional kekhalifahan Usmani (Turki).

Munculnya kantong-kantong pemukiman diaspora (berbasis etnisitas), dari Aceh menyebar ke seluruh Nusantara.Cara pandang warga Nusantara menjadi melihat keluar (outward looking) atau cosmopolitan (Aceh).

Kepulauan berkembang menjadi arena persaingan kolonialisme antar negara-negara tradisional dari Eropa, dan modern AS: Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol dan Amerika.

Kemudiaan, wilayah Nusantara masuk ke tahap kolonialisme Kerajaan Belanda (dari VOC ke Pemerintahan Kolonial), yang dengan sendirinya negara-negara tradisional di Nusantara ditaklukkan, bahkan dihancurkan.

Pasca era Kolonialisme, ternyata hal tersebut menjadi modal politik keindonesiaan (nasionalisme) sehingga terbentuk Republik Indonesia (1945). Sayangnya, Indonesia berubah dari kelautan menjadi republic agraris, yang justru melahirkan cara pandang ke dalam (inward looking) dengan system politik sentralisasi pemerintahan (agraris, non-kelautan).

Untuk melihat dampaknya terhadap kehidupan di Eropa, maka untuk memudahkan, saya merujuk pada Jack Turner “Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme”, khususnya dari bagian Epilog. Bangsa-bangsa Eropa terdorong untuk melakukan penjelajahan sehingga Kantor-kantor dagang (VOC, adalah Organisasi Kadin sebuah propinsi) membiayai penjelajahan dan dipersenjatai. Lalu, kantor dagang tersebut berubah menjadi kekuatan politik yang militeristis untuk menopang kolonialisme (monopoli) yang brutal, misalnya pala di Maluku.

VOC melakukan monopoli terhadap usahatani rempah hingga menjadi komoditi dagang (pada abad 16). Pribumi dipekerjakan dengan sistem perbudakan (1620). Untuk pengendalian harga dilakukan pembakaran terhadap usahatani dan komoditi (1735).

Bangsa Eropa mulai mengupayakan pengembangan usahatani rempah di koloni-koloni Eropa, misalnya Prancis di Mauritus hingga Haiti; Portugis di Brazil (1776); dan Inggris di Ceylon sehingga rempah berkembang dari komoditi yang eksklusif dengan gaya kuliner kelas atas menjadi kuliner yang umum di Eropa.

Akibatnya, menurut Turner:  “…unsur keglamoran dan kemisteriusannya (rempah) telah lama hilang. Kini …akhirnya menjadi komoditas umum belaka.” (Abad 17).

Jadi pesona rempah telah berakhir, yang sejalan dengan masuknya Kawasan Nusantara ke jaman modern.

Pada Abad 20, baik Jalur Rempah maupun praktek Kolonialisme berakhir bersamaan. Kini kita masuk ke abad 21: artefak Jalur Rempah mulai diwacanakan dan diteliti.

Manakala kantong-kantong produsen komoditi rempah masih dalam kondisi tertinggal dibandingkan dengan perkembangan Batavia, yang menjadi Jakarta, sebagai ibukota Republik.

Sistem politik pasang surut antara sistem sentralisasi dan desentralisasi. Kampanye membangun Tol Laut marak, tapi yang gencar dibangun Tol Darat. Perkembangan teknologi komunikasi menyeret Nusantara ke dalam hiruk pikuk global.

Sementara, China merubah diri dari negara agraris menjadi negara yang menguasai jalur laut yang memfasilitasi pengangkutan bahan mentah dan energi, serta distribusi perdagangan komoditas, yang difasilitasi oleh kekuatan militernya.

Pertanyaannya: apakah Jalur Rempah, kita lihat sebagai modalitas sejarah untuk memicu kebangkitan perekonomian, politik dan kebudayaan Nusantara? Atau, sebagai sebuah artefak usahatani dan jalur komoditi masa lalu yang dapat menarik wisatawan asing?

Penulis: Otto Syamsuddin Ishak, adalah
Sosiolog yang berdomisili di Banda Aceh. Artikel ini penarasian slide penulis pada Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Archipelago Solidarity Foundation, pada 15 Februari 2022

syarif: