Illustrasi, salah satu kegiatan Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, bersama rekan-rekan dalem memberi keterangan kepada pers.//foto: dok.Amensty International Indonesia
JAKARTA. Pewartasatu.com — Pemerintah pusat harus memastikan adanya partisipasi bermakna dari orang asli Papua (OAP) dalam kebijakan-kebijakan yang memengaruhi kehidupan mereka, kata Amnesty International Indonesia (AII).
Pernyataan AII usai pertemuan dengan Gubernur Papua Lukas Enembe dan dengan perwakilan masyarakat Dogiyai secara terpisah di Jakarta, Jumat (27/5).
“Pemerintah pusat terlihat belum melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat di Papua,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
“Dalam pembentukan daerah otonomi baru (DOB) misalnya, pemerintah tidak mendengarkan apalagi berkonsultasi dengan mereka yang terdampak oleh kebijakan ini.”
“ Padahal dalam hukum internasional jelas diatur bahwa masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik, termasuk masyarakat adat, ” kata Usman Hamid.
Amnesty menyerahkan laporan ‘Perburuan Emas’: Rencana Penambangan Blok Wabu Berisiko Memperparah Pelanggaran HAM di Papua, yang sebelumnya dirilis 21 Maret lalu, secara langsung kepada Gubernur Papua.
–Baca juga: Enembe Apresiasi Amnesty International Soal Blok Wabu…
Dalam laporan tersebut, Amnesty International mendokumentasikan bagaimana telah terjadi pertambahan jumlah aparat keamanan yang mengkhawatirkan di Kabupaten Intan Jaya sejak 2019.
Ada setidaknya 8 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum dengan 12 korban jiwa yang melibatkan aparat keamanan, dan bagaimana Orang Asli Papua (OAP) di sana mengalami peningkatan pembatasan kebebasan bergerak serta pemukulan dan penangkapan yang rutin.
“Karena itu Amnesty ingin menekankan sekali lagi bahwa rencana penambangan itu harus dihentikan sementara. Setidaknya pemerintah harus melakukan tiga hal terlebih dahulu.”
“ Pertama, menginformasikan kepada masyarakat adat pemilik tanah ulayat untuk memberitahukan rencana penambangan tersebut, sejak dini pada tahap persiapan, termasuk juga dampak-dampaknya,” kata Usman.
“Yang kedua adalah selain menginformasikan tentang rencana penambangan dan dampaknya, pemerintah juga punya kewajiban untuk mengkonsultasikan dan meminta pendapat dari Orang Asli Papua, khususnya mereka yang terdampak, mengenai rencana tersebut.”
“ Ketiga adalah meminta persetujuan dari Orang Asli Papua terdampak terkait rencana penambangan emas di blok Wabu.”
Gubernur Papua Lukas Enembe menyatakan menyambut baik hasil laporan Amnesty. “Saya juga sudah mengirim surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menghentikan sementara proses perizinan penambangan di wilayah Blok Wabu karena situasi keamanan di Intan Jaya tidak kondusif,” kata Lukas.
Lukas juga menceritakan bahwa dia sudah beberapa kali menyampaikan kepada Presiden dan pemerintah pusat tentang pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua dan bagaimana hak-hak masyarakat adat Papua masih diabaikan.
Di hari yang sama, Jumat 27 Mei 2022, perwakilan masyarakat Dogiyai juga mengunjungi kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta menyampaikan aspirasi mereka terkait pembentukan Polres dan Kodim baru di Kabupaten Dogiyai.
Menurut mereka pembentukan Polres dan Kodim baru sama sekali tidak memiliki urgensi karena tingkat kriminalitas yang dianggap rendah.
“Masyarakat Dogiyai khawatir bahwa pembentukan Polres dan Kodim baru akan berujung perampasan tanah masyarakat adat,” kata Maria Goo, tokoh perempuan Dogiyai dari Solidaritas Rakyat Papua.
Maria mengatakan bahwa kepemilikan tanah seluruhnya merupakan wilayah tanah adat yang tidak pernah diserahkan warga kepada pihak Kepolisian untuk kepentingan pembentukan Polres di Dogiyai.
“Pembentukan Polres dan Kodim baru secara sepihak ini, yang dilakukan tanpa sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat adat Doyigai juga bentuk pelanggaran hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan atas dasar informasi, awal, dan tanpa paksaan (PADIATAPA) terkait tanah mereka,” kata Usman. **