Mantan anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih / foto:ombudsman.go.id
JAKARTA. Pewartasatu.com – Mantan Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih mengingatkan pemerintah agar hati-hati mengantisipasi dampak penurunan harga sawit rakyat akibat kelebihan pasokan.
Peringatan ini terkait kebijakan Presiden Jokowi yang mengumumkan per 28 April ini menghentikan ekspor minyak sawit (CPO) hingga batas waktu yang ditentukan kemudian.
Alamsyah bicara tentang dampak kebijakan Jokowi ini. Dia menyebut, dalam jangka pendek, kebijakan ini akan efektif jika dua asumsi terpenuhi.
Pertama, over supply di pasar domestik akan menurunkan harga CPO sehingga minyak goreng dan produk hilir lain lebih murah.
Kedua, governance yang kuat mampu atasi upaya ambil untung melalui ekspor gelap.
Namun, dia memperkirakan ada sekitar 34,2 juta ton minyak sawit yang semula terserap oleh pasar luar negeri akan membanjiri pasar domestik yang hanya menyerap 18,4 juta ton di 2021.
Selain harga sawit rakyat yang akan jatuh, penerimaan devisa dari ekspor CPO juga akan merosot drastis.
Karenanya, mantan anggota Ombudsman RI ini mengatakan, kebijakan menghentikan ekspor minyak sawit (CPO) ini tak boleh diambil hanya sebagai reaksi atas meningkatnya harga minyak sawit global.
Karena hal itu menurutnya hanya akan menimbulkan respon temporer dari pelaku usaha.
“Kita memerlukan perubahan yang lebih fundamental dari sekedar setop ekspor,”lanjut Alamsyah melalui akun twitter @@Alamsyahsaragih, yang dikutip Pewartaatu.com, Sabtu (23/4)
Akibat kenijakan stop ekspor ini, pemasukan BPDP-KS dari pungutan ekspor CPO akan terhenti.
Akibatnya, kata Alamsyah, pembiayaan insentif biodiesel akan tertekan. Bagaimana mengatasi beberapa masalah tersebut ?
Pertama, hapus skema insentif biodiesel berbasis harga global dan ganti dengan harga keekonomian atau harga domestik sesuai perkembangan.
Dengan demikian tekanan pembiayaan insentif biodiesel dapat dikurangi dan harga BBM bisa dipertahankan.
Dari Rp. 71,6 Triliun pungutan ekspor di 2021, yang dibelanjakan mencapai Rp. 53,6 Triliun. Insentif Biodiesel menghabiskan Rp. 52,0 triliun (97,0%) dari total belanja, menyingkirkan alokasi untuk peremajaan sawit yang hanya mencapai Rp 1,3 triliun (2,4%) dan riset Rp. 55,8 M.
Kedua, naikkan bauran minyak sawit dalam produk biodiesel dari sekarang B30 menjadi B40-50 dst., hingga mencapai kondisi optimum atas tiga variabel penting, yakni: harga sawit rakyat, cadangan devisa dan harga produk hilir.
Meningkatkan bauran minyak sawit dalam biodiesel, selain menjaga permintaan sawit rakyat, juga akan mengurangi impor minyak bumi sehingga pemborosan devisa dapat dikurangi.
Namun harus pada tingkat yang tidak menyebabkan kelangkaan bahan baku dan kenaikan harga produk hilir seperti minyak goreng.
Untuk jangka menengah dan panjang menurut Alamsyah, diperlukan kebijakan:
1) Penguasaan stok CPO oleh Pemerintah khusus utk keamanan pangan;
2) Memecah konsentrasi aset pada rantai pasok sawit melalui sistem perpanjangan HGU yang bersifat regresif;
3) Percepatan investasi pada lini hilir.
Alamsyah menyimpulkan, kebijakan tesebut akan mengubah fundamental dalam ketahanan sosial, energi, pangan, dan devisa di masa mendatang. (bri)