Amin Ak Harapkan Lutfi Mampu Optimalkan Perdagangan Bebas Secara Bilateral

JAKARTA, Pewartasatu.com– Kementerian Keuangan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini lima persen. Andalan untuk pemulihan ekonomi nasional agar keluar dari resesi adalah perdagangan internasional yang diharapkan terus tumbuh positif.

Anggota Komisi VI DPR RI membidangi Perdagangan&Perindustrian dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Amin Ak berharap Kementerian Perdagangan (Kemendag) dibawah pimpinan Muhammad Lutfi mampu mengoptimalkan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) secara bilateral dengan 162 negara di berbagai kawasan.

Menurut Legislator Dapil IV Provinsi Jawa Timur ini, peningkatan aktivitas domestik khususnya konsumsi dan investasi swasta sulit untuk pulih cepat mengingat belum tenbentuknya kondisi herd immunity secara menyeluruh di tingkat nasional.

Dikatakan, upaya menggenjot devisa, terutama dari ekspor komoditas, jangan hanya mengandalkan permintaan dari negara mitra dagang utama Indonesia, terutama China, Amerika Serikat, Jepang, dan India. Peningkatan permintaan komoditas akan ikut mendorong ekspor Indonesia mengalami peningkatan ke depannya dan mampu menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Karena itu optimalisasi Free Trade Agreement (FTA) atau Perjanjian Perdagangan Bebas bilateral dengan negara-negara Asia, Eropa, Afrika, sangat penting dan strategis. Tidak hanya memacu ekspor, namun juga investasi yang berorientasi ekspor,” kata Amin dalam siaran pers yang diterima awak media, Rabu (13/1) pagi.

Mengacu pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Perdagangan, lanjut Amin, dalam 10 tahun terakhir investasi asing yang masuk ke Indonesia meningkat 288 persen menjadi Rp 809,6 triliun pada 2019 dari Rp208,5 triliun. Namun, nilai ekspor hanya tumbuh tipis yakni 6,2 persen menjadi US $167,53 miliar dari US $157,73 miliar pada 2010.

Pada 2010, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan US $22,12 miliar, namun mengalami defisit perdagangan dari tahun 2012 hingga tahun lalu. Pada 2019, Indonesia mencatat defisit perdagangan US $ 3,2 miliar, dengan kontribusi terbesar perdagangan dengan mitra dagang terbesarnya, China.

Defisit neraca perdagangan dengan China terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Sementara surplus neraca perdagangan dengan mitra dagang lain seperti Jepang dan India menyusut, sedangkan surplus dengan Amerika Serikat stagnan.

Wakil rakyat dari Dapil Jatim IV itu menengarai, iklim usaha yang tidak mendukung, oligarki dan korupsi menjadi penyebab tidak berimplikasinya perjanjian perdagangan bebas pada peningkatan investasi berorientasi ekspor.

Persoalan lain yang dihadapi, minimnya terobosan yang dibuat Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah Indonesia masih saja bergantung kepada ekspor komoditas yang harganya anjlok sejak 2014.

Realisasi investasi baru, setidaknya dalam satu dekade terakhir, belum banyak berorientasi ekspor. Akibatnya, tidak ada produk andalan non komoditas yang mampu mendongkrak ekspor. “Kemampuan diplomasi Pak Lutfi, terutama dengan Amerika Serikat pascaperubahan kepemimpinan, diharapkan bisa mendongkrak ekspor Indonesia. Apalagi Indonesia baru saja menandatangani kerjasama mega-free trade, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP),” beber Amin.

Mengacu pada penjelasan Kemendag di depan anggota Komisi VI DPR RI beberapa waktu lalu, RCEP memuat bidang kerjasama yang luas, mulai dari barang dan jasa, investasi, usaha kecil menengah, dan e-commerce. Riset pemerintah menunjukkan, RCEP dapat meningkatkan total ekspor ke negara peserta sebesar 8-11 persen dan investasi Indonesia antara 18 hingga 22 persen dalam waktu lima tahun.

RCEP yang ditandatangani November 2020, Pemerintah Indonesia juga menandatangani perjanjian perdagangan dengan European Free Trade Association (EFTA). Untuk itu, diperlukan strategi baru agar Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-EFTA dapat membuka jalan bagi ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke Eropa.

Amin juga berharap, Kemendag mampu mengoptimalkan kerjasama FTA dengan sejumlah negara di Afrika yang merupakan pasar potensial buat produk Indonesia. Beberapa perjanjian perdagangan telah ditandatangani, antara lain Indonesia-Mozambique Preferential Tariff Agreement (PTA), dan yang sedang dipersiapkan saat ini, antara lain dengan Ethiopia, Tunisia dan Maroko.

Ini diharapkan dapat mendongkrak eskpor maupun meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang berorientasi ekspor. “Dalam jangka menengah panjang, ekspor dapat mempercepat pemulihan ekonomi nasional lewat derasnya devisa masuk sekaligus berkurangnya defisit neraca perdagangan,” demikian Amin Ak. (fandy)

akhir Rasyid Tanjung: