Peneliti BRIN APH yang mengancam akan membunuh seluruh warga Muhammadiyah. //CNN Indonesia
JAKARTA. Pewartasatu.com — Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan, cara oknum peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berinisial APH yang melakukan ancaman terhadap warga Muhammadiyah, mirip intimidasi dan agitasi ala PKI di era 1960-an.
Karena itu, Nasir mendukung kepolisian untuk memproses hukum kasus ini. Initial APH dimaksud adalah Andi Pangerang Hasanudin, seorang peneliti di BRIN.
Nasir mengatakan, sangat tidak layak dan patut seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengeluarkan kata-kata yang bernada ancaman tersebut.
Apalagi, ancaman itu dialamatkan kepada Muhammadiyah, organisasi besar Umat Islam di Indonesia.
Dijelaskannya, penyataan oknum peneliti BRIN ini, secara langsung atau tidak telah mengancam perbedaan sikap beragama di Indonesia.
- Baca juga: Ancaman Terhadap Warga Muhammadiyah, Anwar Abbas: Serahkan Polisi
Dalam perkara ini, ujarnya, pihak kepolisian akan menangani kasus ini. Pihak Bareskrim Mabes Polri sudah melakuan profiling pernyataan APH yang mengancam warga Muhammadiyah.
Nasir mengatakan, langkah APH yang meminta maaf atas perbuatannya harus dihormati. Namun, proses hukum juga harus ditegakkan dalam rangka untuk menjaga supremasi hukum. “Semoga polisi bertindak cepat dan akurat serta objektif,” ujar politisi Fraksi PKS ini.
Apalagi, dalam narasinya di media sosial, dia menantang dirinya dilaporkan ke polisi. Jika tidak diproses hukum, publik akan menduga bahwa APH bagian dari rezim yang berkuasa.
“Saya pikir permintaan maaf yang bersangkutan tetap kita hormati. Begitu pun jika postingannya itu ditindaklanjuti dengan proses hukum itu juga bentuk penghormatan terhadap supremasi hukum,” kata Nasir.
Kepada pimpinan BRIN, Nasir berharap juga berani mengambil sikap dengan cara menjatuhkan disiplin kepada yang bersangkutan, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
- Baca juga: Peneliti BRIN Ancam Bunuh Warga Muhammadiyah, Ini Reaksi Bareskrim
“Penegakan kode etik dalam bentuk sanksi kepada yang bersangkutan diharapkan, memberikan efek jera agar ke depan, jangan ada orang di BRIN yang memecah belah umat beragama,” kata anggota DPR dari Aceh ini.
Nodai Kerukunan Beragama
Kecaman terhadap oknum peneliti BRIN yang hendak membunuh warga Muhammadiyah ini juga disampaikan anggota DPR RI Saleh Partaonan Daulay. Dia mengecam tindakan Andi Pangerang Hasanudin.
Saleh menegaskan, pernyataan APH yang menghalalkan darah semua warga Muhammadiyah itu tidak pantas disampaikan seorang aparatur sipil negara (ASN).
“Apalagi kerja di lembaga penelitian seperti BRIN. Betul-betul aneh. Mereka kan ASN. Mestinya profesional, tidak memihak satu keagamaan atau kelompok organisasi,” tegas Saleh lewat keterangan tertulis kepada media, Selasa (25/4/2023).
Menurutnya, ancaman yang disampaikan ASN itu sangat menodai kerukunan umat beragama. Banyak warga negara yang merasa was-was, khawatir, bahkan takut.
“Menghalalkan darah itu sama dengan ancaman membunuh. Itu pernyataan sangat serius dan berbahaya. Ini bukan delik aduan. Kalau ada ancaman membunuh seperti itu, aparat penegak hukum harus segera mengambil langkah.”
“Paling tidak pelakunya diamankan terlebih dulu, diperiksa dasar dari pernyataannya,” ucap Tokoh Muhammadiyah itu.
Menggiring Perpecahan
Saleh juga menilai, sebagai ilmuwan, Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin Thomas sangat tidak bijak. Bahkan pada titik tertentu, dia menggiring pada perdebatan yang menjurus pada perpecahan.Di tingkat akar rumput, hal ini sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan.
Apalagi, kata Saleh, sebagai ilmuwan BRIN yang merupakan lembaga negara dan pembiayaannya dari APBN yang bersumber dari dana masyarakat. Karena itu, seluruh program dan kegiatannya harus dipergunakan bagi kepentingan seluruh masyarakat, tidak boleh dibeda-bedakan.
“Kalau ada oknum yang memakai BRIN untuk kepentingan sesaat kelompok tertentu, itu adalah kesalahan. Etika ASN sebagai pelayanan masyarakat dilanggar. Harus diluruskan,” ujar Saleh.
Saleh mengatakan, sebelum keberadaan Thomas sebagai tim isbat Kemenag, tidak ada perdebatan tersebut. Kalaupun ada, lanjut Saleh tidak sampai saling menyalahkan dan mendiskreditkan.
“Dalam kaitan ini, Thomas Djamaluddin semestinya diberi sanksi. Paling tidak, dia jangan diberi tugas lagi dalam hal penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal,” imbuhnya.**
Sumber: Parlementaria