Dr. suriyanto, S.Pd, S.H.,M.H.,M.Kn.
Oleh : Dr. Suriyanto, S.Pd, S.H., M.H., M.Kn.
Dalam pesan singkat di platform WhatsApp, Budayawan dan Jurnalis Senior Goenawan Muhammad menyampaikan pesan yang menggurtkan rasa kecewa.
“Saya dulu memilih Jokowi dan bekerja agar dia menang. Tapi kini saya merasa dibodohi. Jika nanti Prabowo-Gibran/Jokowi menang, kita dan generasi anak kita akan mewarisi kehidupan politik yg terbiasa culas, nepotisme yg menghina kepatutan, lembaga hukum yg melayani kekuasaan.
Saya bertekad mengalahkan dan menggagalkan sandiwara ini.
Tadinya saya mau pasif, hanya melukis dan menulis, golput. Tapi yg dipertaruhkan pilpres 2024 begitu besar — sebuah tanah air, sejumlah nilai2 kebajikan, sebuah generasi baru yg berjuta-juta. Saya putuskan utk, dlm usia lanjut ini, ikut mereka yg melawan untuk perbaikan.
Mudah2an teman2 bersama saya.
Goenawan Mohamad
Menyikapi tulisan Bapak Goenawan Mohaman senior pendiri Tempo media, yang dalam usia sepuh, ingin turut serta mengambil peran demi perbaikan bangsa ini, melalui pemilu 2024.
Patut kita sadari bersama, di kehidupan era globalisasi ini bangsa kita mengalami degradasi etika dan moral terutama di bidang pendidikan. Hal ini harus menjadi perhatian kita semua, sangatlah naif seruan Indonesia emas tahun 2045 jika infrastruktur pendidikan bangsa ini tidak dibenahi dengan baik, serta di bidang pendidikan di pimpin oleh menteri pendidikan yang memilki pengalaman di bidang pendidikan. Kita lihat saat ini banyaknya tawuran antar siswa, perundungan dan sebagainya.
Apa lagi di tahun politik ini semua seolah-olah luput dari perhatian pemerintah karena disibukan dengan berbagai intrik politik untuk merebut kekuasaan tanpa melihat lagi etika dan moral yang harus dikedepankan.
Fenomena dunia politik Indonesia dalam beberpa tahun terakhir ini mengalami banyak perubahan. Perubahan perpolitikan di Indonesia tidak hanya mengubah watak dan perilaku para politisi, partai politik, elite politik, dan penguasa, tetapi juga mengubah persepsi dan paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang memaknai hakikat politik itu sendiri. Munculnya konflik antar lembaga negara, kasus korupsi hingga terseretnya pejabat negara karena narkoba dan asusila yang duduk di lembaga legislatif, yudikatif, turut mewarnai carut marutnya tata kelola pemerintahan.
Banyak politisi dan pejabat negara yang sudah tidak ada rasa malu meskipun terindikasi terlibat kasus seolah tenang-tenang saja sambil menunggu proses hukum positif, mereka tidak memberikan tanggung jawab secara moral dan menunjukkan rendahnya etika politik.
Demokrasi yang dibangun dalam dunia perpolitikan saat ini adalah demokrasi yang bebas nilai yang menyebabkan perilaku politisi dan pejabat Negara jauh dari etika politik. Makna dan esensi demokrasi direduksi sebagai merebut kekuasaan. Kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat tetapi di tangan penguasa dan lembaga politik. Lembaga politik seperti partai politik bukan lagi merepresentasikan kepentingan rakyat tetapi merepresentasikan kepentingan partai dan elite partai. Yang terjadi, elite partai melanggengkan kekuasaan dengan menggunakan segala cara, termasuk membangun politik dinasti. Akan dibawa kemana bangsa ini?
Untuk itu, etika politik dijadikan sarana merefleksikan kualitas moral yang harus dimiliki oleh para pelaku politik dan para penyelenggara negara. Indikasinya dapat terlihat sampai sejauh mana para pelaku politik dapat memaknai dan melaksanakan etika politik dan demokrasi dalam kerangka Pancasila.
Mari kita merenungkan kembali perjalanan bangsa ini. Kita jangan larut menjadi generasi durhaka. Kita selamatkan bangsa ini dari mereka yang mabuk kekuasaan.(**)