JAKARTA, Pewartasatu.com – Beberapa hari lalu atau tepatnya 31 Mei 2022, Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) diperingati di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Di saat selebrasi HTTS tersebut, Kemenkes dan WHO Indonesia meluncurkan hasil riset yang bertajuk Global Adult Tobacco Survey (GATT).
Sebuah survei yang dilakukan untuk memotret perilaku dan dinamika konsumsi rokok di seluruh dunia, dan hasil riset yang dilakukan GATS 2021 sangatlah mengkhawatirkan. Pasalnya, laporan GATS membuktikan bahwa konsumsi rokok di Indonesia dalam kondisi yang emergency, darurat.
Terkait hal ini, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, jumlah perokok selama 10 tahun terakhir 2011-2021, meningkat 8,8 juta perokok dewasa. Sehingga saat ini terdapat 69,1 juta dari semula 60,3 juta perokok. Artinya 25 persen masyarakat Indonesia adalah perokok.
Menurut Tulus, data BPS 2021 juga membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih banyak membelanjkan uangnya untuk membeli rokok. Jauh di atas produk padi padian, sayur sayuran, ikan/udang, telur susu, daging, dll. Jadi konsumsi rokok mengalahkan konsumsi bahan pangan yang bergizi.
“Hasil GATS juga membuktikan terjadi lompatan iklan dan promosi rokok di media internet. Jika pada 2011 iklan rokok di internet hanya 1,9 persen saja, maka pada 2021 iklan rokok di internet menjadi 21,4 persen,” kata Tulus dalam keterangannya yang diterima Pewartastu.com di Jakarta, Jumat (02/6/2022).
Disebutkan, bahwa fenomena tingginya jumlah perokok, sudah pasti diikuti oleh melambungnya fenomena penyakit tidak menular. Hasil Riskesdas 2018 membuktikan bahwa terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular, yaitu: prevalensi penyakit kanker menjadi 1,8 persen (pada 2013 hanya 1,4%), prevalensi penyakit stroke 10,9 persen (pada 2013 hanya 7 persen), prevalensi ginjal kronis 3,8 persen (pada 2013 hanya 2 persen), dan penyakit diabetes melitus 8,5 persen (pada 2013 hanya 6,9%).
“Peningkatan prevalensi penyakit tidak menular dipicu oleh pola konsumsi dan gaya hidup yang tidak sehat, dan konsumsi rokok menjadi pemicu utamanya,” katanya.
Ia menambahkan, melambungnya jumlah perokok dan diikuti dengan prevalensi penyakit tidak menular, plus pola konsumsi rumah tangga yang dominan untuk membeli rokok; adalah legacy yang sangat buruk dari Pemerintahan Presiden Joko Widodo
“Pemerintahan telah menjadikan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai tumbal dengan dalih investasi. Beberapa tahun ini pemerintah telah meresmikan beberapa industri rokok baru, termasuk rokok elektronik. Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat telah ditukargulingkan dengan kepentingan investasi industri rokok,” paparnya.
Dengan fenomena demikian, lanjut Tulus, maka target pencapaian SDG’s pada 2030, dengan target 40% turunnya prevalensi merokok, tidak akan tercapai, alias gagal total.
“Bonus demografi yang digadang-gadang juga akan antiklimaks, sebab yang akan muncul adalah generasi yang sakif-sakitan, dan tidak produktif. Sementara fenomena kemiskinan masyarakat juga akan langgeng, bahkan meningkat,” tukasnya.
Namun kata dia, masih ada waktu tersisa bagi Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk melakukan transformasi kebijakan, demi melindungi masyarakat Indonesia dari pandemi konsumsi rokok, yaitu segera amandemen PP 109/2012, larang penjualan rokok secara ketengan/batangan, dan larang iklan rokok di media digital, internet.
“Meningkatnya jumlah perokok dan naiknya belanja rokok menuntut pemerintah lebih agresif dalam menaikkan harga rokok, yaitu melalui mekanisme cukai, yang diperkuat dengan kebijakan penyederhanaan golongan tarif cukai setipis mungkin.” Demikian Tulus Abadi.(**)