Walikota Bekasi non aktif, Rahmat Effendi. . ( Foto: Ist)
JAKARTA, Pewartasatu.com – Cerita satu ini tidak ada habisnya. Kasus korupsi atau maling uang rakyat yang saat ini santer, salah satunya adalah kasus lelang jabatan atau jual beli jabatan. Setiap kursi jabatan di daerah, punya nilai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Tidak heran, jika kasus dugaan korupsi Walikota Bekasi nonaktif Rahmat Effendi atau Pepen (Jawa Barat), atau Bupati Probolinggo nonaktif Puput Tantriana Sari (Jawa Timur) membuat kaget ketua KPK Firli Bahuri.
Saya kaget Bupati Probolinggo, dari PJS kepala desa ada harganya 20 juta,” ujar Firli Bahuri di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Serang.
Untuk sekedar diketahui, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengaku kaget saat buka-bukaan soal jual-beli jabatan dari pengungkapan korupsi di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, dan Kota Bekasi Jawa Barat.
Pasnya, kekagetannya soal “jual beli jabatan” tersebut di hadapan gubernur, bupati, dan walikota se-Provinsi Banten.
Di Probolinggo, kata ketua omisi anti rasuah ini, setiap kepala desa (kades) harus menyewa tanah bengkok seharga 5 juta per hektare.
Sedangkan di sana (Probolinggo), ada 300 lebih dari kepala desa. Uang itu disetorkan kepada salah satu kepala desa yang ia sebut “koordinator”-nya.
“Banyak itu, tambah lagi tanah bengkoknya satu hektare 5 juta, kalikan 300 kades, besar juga,” ujar pimpinan KPK dari unsur Polri ini.
Dalam kasus korupsi atau maling uang rakyat di Probolinggo ini,
KPK menyita aset senilai 50 miliar dari Bupati Probolinggo nonaktif Puput Tantriana. KPK juga menyita rumah Bupati Probolinggo yang sedang dikontrak orang lain.
Menurut Firli Bahuri, jual-beli jabatan di Probolinggo tidak berhenti di situ, atau tepatnya harus menyewa tanah bengkok seharga 5 juta per hektare.
Tapi masih berlanjut. Untuk jabatan dari kepala seksi (kasi), kepala bagian (kabag), kepala dinas (kadis), hingga sekda, semuanya bertarif. Itu harganya ratusan juta.
“Kadis itu Rp300 juta, sekda Rp360 sampai Rp400 juta. Itu ada daftarnya dan kita ambil, nggak ngarang-ngarang, makanya ada 17 kepala desa yang kita tahan,” jelasnya.
Termasuk juga yang terjadi di Kota Bekasi yang ketika dipimpin Rahmat Effendi. Di daerah ini, setiap kepala desa (lurah) dan camat memiliki “koordinator” yang disebut sebagai “ketua kelas”.
Segala kebutuhan kepala daerah (bupati dan walikota) ia sebut bisa melalui mereka.
“Banyak sekali rawan-rawan korupsi itu, ini jangan terjadi,” tegas Ketua KPK Firli Bahuri.(Maulina)