Dansa Politik di Pilpres 2024

Saiful Huda Ems.(Foto: Ist)

 

Oleh Saiful Huda Ems

 

Sebagaimana  yang pernah saya tulis dan katakan setahun lebih yang lalu, bahwa Pilpres 2024 akan sangat fenomenal dibanding Pilpres-Pilpres sebelumnya. Fenomena keterbelahan bangsa yang terpolarisasi dalam kelompok Kampret, Cebong dan Kadrun akan segera menghilang di Pilpres 2024 ini.

Hal ini bisa terjadi karena telah ada usaha yang sangat serius dari politisi-politisi berintegritas, yang merasa terpanggil nuraninya untuk sesegera mungkin menyatukan kembali keterbelahan anak-anak bangsa di negeri ini.

Pendukung Jokowi yang tak lama lagi akan berganti menjadi pendukung Ganjar Pranowo, dan yang selama ini diidentifikasi oleh lawan politiknya sebagai Cebong, akan mendapati kenyataan baru bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, akan membaur bersama Kadrun (identifikasi untuk pendukung Anies Baswedan) untuk sama-sama menyukseskan pasangan Capres/Cawapres Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.

Pun demikian, sebagian Cebong yang sudah terlanjur beralih menjadi pendukung Prabowo, akan membaur bersama Kampret (identifikasi untuk pendukung Prabowo), untuk bersama-sama menyukseskan pasangan Capres/Cawapres Prabowo Subianto dan Erick Tohir atau dengan figur lainnya yang nantinya akan mereka sepakati.

Fenomena politik yang seperti demikianlah yang saya sebut dengan Dansa Politik, sebagaimana yang pernah disebut oleh Ibu Megawati Soekarnoputri di hadapan Presiden Jokowi.

Tanda-tanda dari semua itu telah nampak dari hal-hal berikut ini: Pertama, mungkin sebagian orang masih mengingat dengan apa yang pernah saya tulis dan katakan setahun lebih yang lalu, bahwa berangkat dari keprihatinan yang sama terhadap persoalan keterbelahan bangsa seperti yang saya kemukakan di atas, dua team antara Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan telah lama berusaha untuk melakukan kerjasama sebagai penjajakan menduetkan kedua figur politisi ini,

Nasionalis dan Islam. Ini semua dilakukan dengan harapan agar bangsa ini kembali akur satu sama lain, dan tidak cekcok lagi hanya karena beda pilihan Capres Nasionalis dan Capres yang terstigmatisasi sebagai pelopor politik identitas, dan yang sama-sama memiliki pendukung militannya sendiri-sendiri.

Meskipun terlihat selama beberapa bulan belakangan ini Anies Baswedan mencoba untuk berusaha mencari figur politisi untuk Cawapresnya dari kalangan Nahdliyin (NU), sebagai cara untuk menghapus rekam jejak politik identitasnya, namun semuanya nampak sia-sia mengingat parpol pendukungnya untuk Nyapres (NASDEM, Partai Demokrat dan PKS), masih belum ada kata sepakat dan bahkan nampak cenderung memberontak.

Oleh karena itu tidak ada jalan lain bagi Anies kecuali dia harus bersinergi dengan kekuatan Nasionalis, yakni PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai Capresnya.

Kegundahan Anies Baswedan dan Surya Paloh ini ditangkap oleh PDIP, dan mengingat di berbagai release lembaga-lembaga survei terpercaya, nama Anies Baswedan terus menerus berada di posisi ketiga, maka memanfaatkan Anies untuk dapat mengungguli suara elektabilitas Prabowo yang terus bersaing ketat dengan Ganjar Pranowo adalah sebuah taktik dan strategi yang tepat.

Apalagi jika kedua team Capres Ganjar dan Anies ini sudah lama melakukan kerjasama politik untuk penjajakan pasangan Capres/Cawapres 2024.

Kedua, pada kenyataannya hasil survei dari beberapa lembaga survei terpercaya, meski elektabilitas Prabowo berada di atas Ganjar Pranowo, namun kecenderungan Ganjar Pranowo reborn itu tak dapat dihadang. Trend elektabilitas Ganjar selalu cenderung naik, sedangkan elektabilitas Prabowo dan Anies cenderung menurun.

Jika disimpulkan akan terbaca, bahwa popularitas Prabowo dan Anies ternyata tidak sebanding dengan elektabilitasnya. Maka ketika Anies nantinya dapat dirangkul oleh Ganjar menjadi Cawapresnya, dengan seketika elektabilitas pasangan Prabowo dengan siapapun akan langsung anjlok alias turun drastis.

Jangan pernah bermimpi Prabowo akan maju berpasangan dengan Gibran Rakabuming sebagaimana yang publik hendak diarahkan oleh Raja Survei Indonesia Denny JA, sebab selain Mahkamah Konstitusi belum memutuskan judicial review yang memperbolehkan usia Capres/Cawapres minimal 35 tahun, ide Denny JA yang diamplifikasi oleh para pendukung Prabowo tersebut, sudah dijawab langsung oleh Gibran dengan gerakan pasang sticker Capres 2024 Ganjar Pranowo di pintu-pintu rumah penduduk. Ini artinya Gibran tak sudi disandingkan dengan Capres Prabowo.

Ketiga, di hari-hari ini sudah mulai ramai pernyataan demi pernyataan politisi PDIP dan NASDEM yang selalu bersambut, bahwa dari mereka mulai terbersit keinginan untuk menduetkan Ganjar dan Anies di Pilpres 2024. NASDEM dan PKS nampak sekali tidak keberatan apabila status Cawapres yang diusungnya turun derajat menjadi Cawapresnya Ganjar Pranowo. Ini sangat rasional dan lumrah, mengingat elektabilitas Anies terus menerus menurun dan hingga kini belum mampu menemukan calon Cawapresnya, serta dihantui oleh kecemasan akan larinya partai koalisinya sendiri, yakni Partai Demokrat karena kecewa AHY tak diterima sebagai Cawapresnya Anies.

Meski demikian posisi elektabilitas Anies selalu berada di atas tokoh-tokoh politisi lainnya selain Ganjar dan Prabowo.

Sebelum Partai Demokrat benar-benar kabur berkoalisi dengan PDIP, maka tidak ada jalan lain bagi NASDEM untuk merapat terlebih dahulu ke PDIP. Demikian pula dengan PKS yang sudah lama trauma mendukung Prabowo namun selalu kalah, tidak akan mau jatuh di lubang kegagalan yang sama untuk ketiga kalinya, karenanya merapat ke PDIP merupakan pilihan terbaiknya.

Inilah Dansa Politik 2024 yang akan mencengangkan banyak orang, mau menerima kenyataan bersekutu dengan Kadrun atau mau bersekutu dengan mantan penculik dan pembunuh. Silahkan pertimbangkan saja maslakhat dan mudharatnya (baik dan buruknya).

Kupas tuntas analisa peta politik 2024 selesai sudah, sekarang mari kita bahas soal kelanjutan Pemerintahan Jokowi yang hanya tinggal beberapa bulan lagi.

Terdengar dari berita bahwa sepulang dari Afrika, Presiden Jokowi akan segera bertemu dengan Capres Ganjar dan Prabowo di Semarang di akhir bulan Agustus ini. Sebagian orang menganggap ini sebagai keresahan Presiden Jokowi terhadap situasi Pilpres 2024.

Disinyalir pula, Presiden Jokowi khawatir salah pilih dukung Capres antara Ganjar dan Prabowo, di sisi lain sebagai Presiden beliau haruslah netral (tidak memihak) sebagaimana yang Ibu Megawati juga ingatkan.

Namun bagi saya, haqqul yaqin bukanlah itu persoalannya, sebab bagaimanapun Presiden Jokowi sebagai kader PDIP dan yang sangat tau percis persoalan, pastinya diam-diam ataupun secara terbuka, pada waktunya nanti akan mendukung Capres Ganjar Pranowo.

Prabowo sudah sangat tua, tak mampu lagi berlari marathon (perlambang kerja cepat sat-set sat-set), selain itu juga terganggu kesehatan dan –maaf– mentalnya. Presiden Jokowi sangat tau itu, karenanya kekhawatiran salah mendukung Ganjar bukanlah alasan, karena itulah pilihan yang terbaik bagi Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sepertinya hanya ingin memastikan bahwa yang akan maju Pilpres 2024 hanya dua calon itu, sebab selain akan mempermudah pembacaan peta politiknya juga akan menghemat jauh anggaran PEMILU.

Selain hal di atas, Presiden Jokowi tentunya juga akan mulai mengefektifkan kinerja kabinetnya yang hanya tersisa lebih kurang satu tahun lagi, dimana menteri-menteri yang sudah tidak bisa lagi bekerja secara efektif, dan tidak menguntungkan kepentingan politiknya untuk jangka panjang sudah seharusnya diganti dengan tokoh-tokoh relawannya yang selama ini berdiam diri di luar pagar istana.

Menyapa dan memberdayakan relawan-relawannya, merupakan satu-satunya cara untuk bisa meraih simpati dan dukungan politik bagi Presiden Jokowi jangka panjang, pasca lengsernya serta bagi Capres yang akan didukungnya.

Presiden Jokowi tentu akan merasa terbebani hatinya, jika masih terus saja mempertahankan para menteri yang tidak mendukung visi politiknya, sedangkan para tokoh relawannya sendiri, seperti Dr. Haidar Alwi dibiarkannya berjuang mati-matian sendirian untuk terus menerus mengawal pemerintahannya dari gangguan dan serangan lawan-lawan politiknya. Bagaimanapun Presiden Jokowi pastinya menyadari, lebih baik mengapresiasi para tokoh relawannya seperti Dr. Haidar Alwi tersebut dengan memberinya posisi di kabinetnya, daripada mempertahankan dan membesarkan lawan-lawan politiknya di kabinet.

Waktu kepemimpinan nasional Presiden Jokowi yang tersisa akan sedemikian singkat, jika Presiden Jokowi tidak sesegera mungkin meninggalkan kenangan manis bagi para pendukungnya, maka begitu Jokowi tak lagi menjadi Presiden, kenangan untuknya akan segera pupus, layu dan menghilang, berganti dengan kenangan Presiden baru yang lebih memiliki rasa simpati dan empati terhadap para pendukungnya dibanding dengan para lawan-lawan politiknya sendiri. Semoga Presiden Jokowi tersadarkan. Jum’at mubarak !…(**)

25 Agustus 2023.

Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.

Maulina Lestari: