Presiden Joko Widodo dan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.//Foto: Setkab/Ti
JAKARTA . Pewartasatu.com — Gonjang-ganjing soal gugatan persyaratan umur calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat perhatian dari pakar hukum tata negara, Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, menurut mantan Wakil Menkumham era Presiden SBY itu, seharusnya mundur dari (penanganan) perkara yang memeriksa konstitusionalitas syarat umur capres dan cawapres.
Alasannya, meskipun putra Jokowi, Gibran, bukan pemohon atau pihak dalam perkara pengujian syarat umur capres-cawapres tersebut, tetapi adalah fakta yang tak terbantahkan, bahwa perkara tersebut berkait langsung dengan kepentingan peluang Gibran Jokowi berpotensi maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.
“Apalagi Presiden Jokowi, sang Kakak Ipar Anwar Usman, telah secara resmi memberikan keterangan Presiden dalam persidangan di MK, yang pada intinya, tidak menolak permohonan syarat umur diturunkan menjadi 35 tahun, dan memberi peluang Gibran Jokowi menjadi cawapres tersebut,” tulis Deny Indrayana melalui akun twitternya, @dennyindrayana, Minggu 27 Agustus 2023.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 atau UU Pemilu kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh dua kelompok yang berbeda. Keduanya meminta MK melakukan uji materi Pasal 169 huruf q Pemilu terkait batas usia maksimal capres-cawapres.
Pasal tersebut mengatur persyaratan capres-cawapres dengan batas usia minimal 40 tahun, sedang batas syarat usia maksimal tidak diatur.
Kelompok pertama adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yan mengajukan judicial review Pasal 169 q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Mereka menilai bahwa ketentuan yang membatasi syarat capres-cawapres minimal berusia 40 tahun itu diskriminatif. Karenanya meminta batas usia itu diturunkan menjadi 35 tahun.
Kelompok pemohon kedua meminta MK untuk membatasi usia maksimal capres-cawapres hingga 70 tahun. Ini antaranya diajukan Aliansi ’98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM (kuasa Rio Saputro, Fatika Sari dan Wiwit Ariyanto), advokat Rudy Hartono dan penggugat lain.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI Francine Widjojo menyebut banyak anak muda yang menunjukkan kemampuan mereka sebagai kepala daerah. Dia menunjuk Wagub Jawa TImur Emil Dardak dan Wali Kota Solo, sekaligus anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka.
Isu yang berkembang hingga saat ini, gugatan batas minimal usia capres-cawapres itu dipandang sebagai upaya untuk memuluskan Gibran menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto.
Diketahui, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman adalah adik ipar Jokowi.
Terkait dengan usulnya agar Anwar Usman mengundurkan diri dari penanganan perkara gugatan batas usia capres/cawapres ini, Denny Indrayana menunjuk Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, yang tertuang dalam Peraturan MK Nomor 9 Tahun 2006, khususnya Prinsip Ketakberpihakan, pada penerapan butir 5 huruf b mengatur:
“Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini: … b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan”.
Meskipun Gibran bukan pemohon atau pihak dalam perkara pengujian syarat umur capres-cawapres tersebut, tetapi menurut Denny, adalah fakta yang tak terbantahkan, bahwa perkara tersebut berkait langsung dengan kepentingan peluang Gibran berpotensi maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.
“Apalagi Presiden Jokowi, sang Kakak Ipar Anwar Usman, telah secara resmi memberikan keterangan Presiden dalam persidangan di MK, yang pada intinya, tidak menolak permohonan syarat umur diturunkan menjadi 35, dan memberi peluang Gibran Jokowi menjadi cawapres tersebut,”cuit Denny.
Denny berpandangan, masih ikut sertanya Anwar Usman memeriksa perkara tersebut, bukan hanya melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi, lebih jauh sikap tidak etis Ketua MK yang demikian berpotensi lebih merusak kemerdekaan, kehormatan, dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi.**