JAKARTA, Pewartasatu.com — Di tengah penolakan terhadap rencana pemekaran Papua, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Papua, Yorrys Raweyai mengingatkan bahwa langkah itu sebenarnya adalah keinginan masyarakat Papua sendiri.
Yorrys sebagai salah satu pembicara dalam sesi pertemuan bersama media beberapa waktu lalu mengatakan langkah itu tercapai sebagai wujud keinginan masyarakat Papua.
Ia mengulik kisah masa lalu, ketika sejumlah tokoh Papua datang ke Jakarta pada 2008, untuk meminta dilakukannya pemekaran wilayah.
Salah satu yang datang ketika itu adalah Lukas Enembe, saat menjadi Bupati Kabupaten Puncak Jaya. Lukas Enembe adalah Gubernur Papua saat ini.
“Itu konsep dari Pak Lukas tentang Otsus (otonomi khusus -red) Plus. Beliau datang dengan seluruh pimpinan pemerintah daerah dan saya yang memfasilitasi ke pimpinan DPR RI. Permintaannya pemekaran. Pemekaran kabupaten dan pemekaran provinsi,” kata Yorrys.
Ketika itu, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono merespons permintaan dengan mengeluarkan Amanat Presiden untuk proses pemekaran.
Persoalannya setelah itu, menteri keuangan menyatakan bahwa anggaran tidak mencukupi. Bahkan kemudian lahir kebijakan moratorium pemekaran.
“Jadi kalau sekarang kita bicara proses pemekaran, kita jangan melawan lupa, ini sudah pernah diusulkan juga. Jadi kalau saya, kita pakai persoalan bahwa ini rakyat grass root (akar rumput -red) yang menolak dan lain sebagainya, sulit argumentasi itu saya bisa menerima,” tegas Yorrys.
Sebagai wakil rakyat dari Papua, Yorrys menjamin dirinya membuka diri melakukan dialog terkait berbagai hal di Papua.
Dia bahkan mengajak semua pihak konsisten dengan proses pemekaran yang sudah berjalan. Dalam perhitungannya, 20 tahun ke depan Papua akan menuai manfaat dari apa yang dilakukan saat ini,
Dikutip dari Kompas, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib, menyebut mayoritas masyarakat menolak rencana pemekaran di tanah Papua.
Menurutnya, pemekaran harus dilakukan dengan pertimbangan dari MRP serta rekomendasi dari Gubernur dan DPR Papua.
Mekanisme tersebut kali ini tidak dilakukan, padahal MRP merupakan lembaga representasi kultural yang melaksanakan UU Otonomi Khusus itu sendiri.
Oleh karenanya, MRP sebagai representasi orang asli Papua, menyatakan bahwa pemekaran Daerah Otonom Baru atau pemekaran provinsi menolak DOB.
Alasannya, adalah karena MRP ditunjuk dan dibentuk oleh UU Otsus pertama pada 2001, sebagai representasi kultural orang asli Papua tidak dilibatkan.
Karena itulah, pemekaran wilayah yang dilakukan tanpa MRP merupakan sebuah pelanggaran terhadap otonomi khusus itu sendiri. (**)