DPP KAI Soroti Kasus Sambo, UU KUHPidana, Roy Suryo Yang Viral Selama 2022

Potret Presiden KAI Erman Umar bersama pengurus DPP (Dok. Foto: KAI)


JAKARTA, Pewartasatu.com – Beberapa peristiwa hukum yang menonjol dan menarik perhatian publik, terjadi selama tahun 2022 ini. Salah satunya adalah telah disahkannya UU KUHPidana yang kemudian jadi polemik di masyarakat itu.

Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI), organisasi profesi pengacara atau advokat, mencatat beberapa peristiwa hukum yang menonjol tersebut dan menarik perhatian publik.

Pertama, disahkannya UU KUHPidana (Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang baru oleh DPR RI pada tanggal 6 Desember 2022.

Kedua, pemerintah terlihat dalam membungkam kritik dari pihak yang berseberangan masih menggunakan pendekatan yang diduga kriminalisasi terhadap si pengkritik.

Berdasarkan catatan hukum akhir tahun 2022 yang dikemukakan tersebut di atas, DPP KAI berharap agar pembentukan hukum harus dikaji dengan maksimal.

“Kajian yang memenuhi nilai-nilai jiwa (volksgeist) bangsa dan memenuhi landasan pembentukan Undang-Undang (UU). Baik landasan filosofis, sosiologis dan yuridis,” demikian catatan akhir tahun pengurus DPP KAI.

Catatan akhir tahun dari pengurus DPP KAI ini, ditandantangi oleh Presiden DPP KAI Erwan Umar, SH dan Sekretaris Jenderal Heytman Jansen P.S, SH dalam bentuk siaran pers.

Selanjutnya disampaikan dalam satu acara pertemuan internal pengurus DPP KAI di kantor sekretariatnya di Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, akhir Desember 2022.

Menurut DPP KAI, perlunya kajian yang memenuhi nilai-nilai tersebut, dimaksudkan
agar pemberlakuaan UU yang baru dapat diterima masyarakat, dan kualitas penegakan hukum di masa datang berjalan dengan lebih baik.

Disahkannya UU KUHPidana tersebut menuai kontroversi, menurut DPP KAI, karena UU tersebut dianggap membelenggu Hak Asasi Manusia (HAM), hak-hak masyarakat dalam berpendapat di negara Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi.

Padahal perjuangan untuk mengganti KUHPidana peninggalan kolonial Belanda tersebut, telah berlangsung lama, hampir 50 tahun dan berganti-ganti masa pemerintahan sejak zaman Presiden Soekarno.

Potret Presiden KAI Erman Umar bersama pengurus DPP (Dok. Foto: KAI)


Seperti diketahui, dengan harapan disahkannya UU KUHPidana ini, diharapkan akan menghasilkan KUHPidana yang lebih baik dibanding KUHPidana produk penjajah Belanda.

“Justeru ini menjadi dilemma,” kata Presiden KAI Erman Umar, didampingi dua Vice President Arman Remy dan Djudju Purwantoro, Bendahara Umum Ramayani Darwis, beberapa Wasekjen dan Ketua-ketua Bidang.

Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) atas disahkannya KUHPidana yang baru tersebut, pernah dibahas dengan narasumber antara lain:

Prof Bagir Manan (mantan Ketua Mahkamah Agung RI dan mantan Ketua Dewan Pers), Atal S Depari (Ketua Umum PWI Pusat), Wina Armada Sukardi (Pakar Hukum Pers dan Advokat), Al Araf (Dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM).

Dari pendapat keempat narasumber tersebut dapat disimpulkan KUHPidana yang disahkan tersebut bermasalah, lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan yang berpotensi terjadi kesewenang-wenangan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis terhadap pemerintah.

“Berdasarkan hal tersebut, pihak pemerintah dan penegak hukum terkait perlu segera mensosialisasikan aturan tersebut,” kata Erman Umar.

Jika ternyata nanti penerapan KUHPidana tersebut banyak terjadi pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan terhadap kebebasan masyarakat dalam berpendapat, maka KUHPidana tersebut harus di revisi.

Peristiwa hukum lainnya yang disorot DPP KAI, adalah pemerintah terlihat dalam membungkam kritik dari pihak yang berseberangan masih menggunakan pendekatan yang diduga kriminalisasi terhadap si pengkritik.

Fakta ini terlihat dari kasus yang menjerat Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) dan mantan aktivis Partai Demokrat.

Roy Suryo didakwa dengan dakwaan berlapis. Pasal 28 UU ITE Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Demikian juga peristiwa penembakan yang berakibat meninggalnya ajudan Kadiv PROPAM Irjen Ferdy Sambo, almarhum Nofriansyah Yoshua Hutabarat, dikenal dengan sebutan Brigadir Yoshua.

Dalam peristiwa tersebut yang diduga pelakunya dijadikan tersangka oleh Penyidik Bareskrim POLRI, didakwa dengan pasal 340 KUHP, pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dilanjutkan sebagai Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum di depan persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Mereka adalah Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Richard Eliezer, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Maaruf, supir keluarga Ferdy Sambo (*)

Fifi SHN: