Fahri: Presiden Jokowi Harus Belajar Dari Aksi Tolak UU Omibus Law Ciptaker

JAKARTA, Pewartasatu.com– Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah berharap, pemerintah dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat mengambil ‘pelajaran besar’ dari aksi penolakan pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang terjadi di Jakarta dan berbagai daerah di tanah air.

Maksud dan tujuan Pemerintah membangun perekonomian yang kuat di tengah wabah pandemi virus Corona (Covid-19) dan krisis berlarut ini, kata Fahri dalam keterangan pers yang diterima Pewartasatu.com, Jumat (9/10) siang, tidak dimengerti publik atau rakyat. Itu terbukti terjadinya penolakan dimana-mana.

“Saya kira, ada pelajaran besar yang harus dipetik hari-hari ini, karena maksud baik kadang dikotori adanya maksud yang tidak baik. Maksud baik akhirnya bercampur dengan yang tidak baik, sehingga menjadi keruh dan akhirnya rakyat menolak,” kata Fahri.

Menurut Wakil Ketua DPR RI Kordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra) 2014-2019 itu, Omnibus Law Ciptaker adalah UU yang unik, termasuk dalam penamaannya dalam Bahasa Indonesia disebut. UU Ciptaker mengatur semua kegiatan perekonomian dan lapangan pekerjaan.

“Siapa yang tidak mau lapangan kerja tercipta, siapa yang tidak mau bekerja, siapa yang tidak mau punya penghasilan, ngasih makan keluarga dan anak-anak. Siapa sih yang tidak mau, semuanya ingin kerja. Lalu, kenapa undang-undang yang maksudnya baik ditolak semua orang,” kata Fahri.

Politisi senior kelahiran Sumbawa ini mengatakan, banyaknya penolakan terhadap pengesahan UU Ciptaker karena Pemerintah sejak awal menutup-nutupi isi yang tercantum dalam UU Omnibus Law itu dan tidak mengkomunikasikan kepada publik hingga disahkan Senin (5/10).

“Kalau Pemeritah menyatakan ini semua baik, harusnya sejak awal dikomunikasikan. Orang harus diberi tahu hal-hal yang tercatum dalam UU ini, dan pasti semua akan menerima karena tak ada orang yang tidak mau kerja, tidak ada orang yang tidak ingin kehidupannya menjadi baik dengan bekerja dan terlibat dalam kegiatan perekonomian,” ujar Fahri.

Lebih jauh ditegaskan, sejak awal Pemerintah tidak terbuka soal UU Ciptaker sehingga publik mengesankan UU ini tidak berpihak kepada rakyat tetapi kepada pengusaha, kelompok dan golongan tertentu saja yang ingin mengusai perekonomian Indonesia.

“Kata almarhum WS Rendra, maksud baik saudara untuk siapa?, Maksud baik saudara ada di pihak yang mana?. Pertanyaan-pertayaan ini terjadi karena tidak adanya keterbukaan Pemerintahan Jokowi dari awal,” ungkap Fahri.

Lebih lanjut dikatakan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk terus menerus memberi penjelasan ke publik di tengah maraknya aksi unjuk rasa di berbagai daerah menolak UU Ciptaker. Pemerintah menurutnya, harus bisa meyakinkan publik bahwa UU Ciptaker berpihak kepada rakyat, bukan kepada yang lain. “Ini waktu yang tepat berbicara dengan masyarakat, waktu berbicara kepada rakyat agar maksud baik kita, maksud baik pemerintah itu diketahui rakyat. Dan maksud baik itu ada dipihak rakyat,” tegas Fahri.

Karena itu, Fahri meminta DPR RI memberikan penjelasan ke publik, dan tidak cuci tangan usai mengesahkan UU Ciptaker dengan menyerahkan bola panasnya ke Pemerintah. Sebab, DPR yang berisi perwakilan partai politik (parpol) adalah pihak yang dianggap paling bertanggungjawab, karena telah membahas dan mengesahkan UU tersebut secara cepat.

“Itu saran saya kepada pemerintah dan DPR RI, semua anggota DPR RI yang sejak awal semua parpol sebenarnya menyetujui pembahasan, meski diujung berbeda pendapat diakhirnya. Tetapi sejatinya mereka setuju, termasuk partai politik yang menolak,” tandas Fahri.

Seperti diketahui, RUU Omnibus Law Ciptaker disahkan DPR RI serta Pemeritah dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10). Tujuh dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI yakni PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, PAN dan PPP setuju RUU Omnibus Law Ciptaker disahkan menjadi UU, sedangkan PKS dan Demokrat menolak.

Bahkan Demokrat melakukan aksi walk out dari Ruang Rapat Paripurna sebagai bentuk penolakan pengesahan UU Ciptaker. Sedangkan Fraksi PKS memilih diam ditempat dan mengamini pengesahan UU tersebut, meskipun menolak menandatangani persetujuan UU Ciptaker. (fandy

akhir Rasyid Tanjung: