JAKARTA, Pewartasatu.com – Saksi sekaligus terdakwa dalam perkara dugaan penggelapan bahan bakar minyak (BBM) laut, Edi Setyawan membongkar kembali perkara penyekapan dirinya oleh Direktur Utama (Dirut) PT Meratus Line Slamet Rahardjo. Terungkap dalam persidangan, bahwa penyekapan itu dilakukan untuk memaksa saksi mau menuduh Direksi Bahana terlibat dalam penggelapan BBM tersebut. Upaya dan motif ini tampaknh\ya sebagai rangkaian untuk alasan PT Meratus tidak membayar utang sebesar Rp 50 miliar ke PT Bahana Line.
Diketahui, bahwa Direktur Utama (Dirut) PT Meratus Line, Slamet Raharjo pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyekapan Edi Setiawan yang tak lain adalah karyawan dari perusahaan pelayaran PT Meratus Line. Penetapan Slamet sebagai tersangka terungkap dalam surat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dengan nomor B/622/SP2HP.4/VIII/RES.1.24/2022/RESKRIM yang dikeluarkan oleh Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Hanya saja sampai sekarang tidak jelas ujung dari kasus tersebut.
Selain terungkap fakta mencokot paksa Direksi Bahana oleh manajemen Meratus dengan penyekapan, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, terdakwa Edi yang menjadi saksi dalam perkara Nur Habid dan David Ellis Sinaga dan kawan-kawan, juga sempat ditanya jaksa Estik Dilla soal asal muasal beberapa asetnya seperti yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Saat itu ditanya dari mana asal pembelian tiga sertifikat hak milik (SHM) yang tersebar di beberapa tempat tersebut, Edi pun menjawab, jika aset itu didapatnya dari hasil berbisnis motor Vespa.
“Saya dari dulu jual vespa. Saya pernah jual vespa sampai Rp 350 juta. Saya beli Rp 50 juta, lalu saya biarkan hingga 1 sampai 2 tahun, saya jual lagi sampai Rp 350 juta. Jadi itu (aset) keuntungan vespa ditambah uang penghasilan istri juga,” ujarnya.
Edi kemudian ditanya lagi oleh JPU soal aliran dana hasil penggelapan BBM yang dilakukannya, dan dijawab dengan membenarkan sebutan jaksa yang membacakan BAP, bahwa sebagian uang itu digunakan untuk menyumbang pondok pesantren, masjid dan musala. Untuk Masjid saja, ia pernah menyumbangkan hingga Rp 600 juta. Sedangkan musala hingga Rp 150 juta dan sebuah ponpes di Kediri hingga Rp 125 juta.
Selain itu, Edi juga mengakui jika sebagian besar uang itu juga digunakan untuk bersenang-senang di tempat karaoke, dan spa. Sementara terkait sertifikat aset-aset yang dimilikinya itu, Edi menjelaskan, bahwa hal itu sudah diserahkannya pada pihak PT Meratus Line. Penyerahan surat berharga miliknya itu, diakui pada saat ia sedang disekap oleh pihak PT Meratus Line.
“Saya serahkan pada Meratus saat saya disekap dulu, dan kerugian ini suruh tebus agar nanti saya dikeluarkan dan tidak dilaporkan,” ujarnya.
Saat itu, kata Edy, istrinya diminta untuk membawa 3 SHM yang dimilikinya dengan harapan, setelah menebus dengan jaminan 3 SHM tersebut ia akan dikeluarkan. Namun, saat istrinya datang, ia tidak hanya diminta menyerahkan SHM saja tapi juga diminta untuk tandatangan berkas yang tidak diketahui isinya.
“Saya minta istri bawa 3 SHM, dengan harapan setelah menebus ini, saya dikeluarkan, ternyata pas istri datang disuruh tandatangan-tandatangan saja tapi tidak dikasih tahu isinya apa. Pas di Polda dua SHM dikembalikan sedangkan satu ditahan,” tambahnya.
Terkait pernyataan Edi ini kemudian dipertegas oleh Kuasa Hukum David dkk, Syaiful Maarif. Ia meminta ketegasan, siapakah pihak yang melakukan penyekapan pada dirinya itu, Edi dengan gamblang menjawab jika yang melakukan itu adalah Dirut PT Meratus Line Slamet Raharjo dan Auditor Internal Feni Karyadi.
“Saya disekap lima hari oleh Pak Slamet (Dirut) dan Feni (Auditor Internal PT Meratus Line),” katanya.
Saat ditanya apakah hanya dirinya yang disekap? Edi mengaku tidak tahu pasti. Namun, saat itu ia dikumpulkan bersama dengan kawan-kawan lainnya.
“Sebelumnya kami dipisah-pisah, tapi apakah kawan-kawan juga seperti, saya tidak tahu. Yang jelas saya diintimidasi,” ujarnya.
Terkait beberapa surat pernyataan yang menyudutkan manajemen PT Bahana Line, Edi menjelaskan bahwa saat itu situasinya mendapat tekanan dan pemaksaan. Apalagi, saat penyekapan terjadi, PT Meratus Line juga melibatkan oknum polisi dan oknum TNI.
“Saya dipaksa membuat surat pernyataan dan isinya didikte oleh seseorang. (Waktu pemeriksaan ada TNI dan Polisi), ada yang bertanya, Angkatan Laut itu yang memaksa. Soal buat pernyataan saya ditekan karena ada yang mendikte,” bebernya.
Pada kesempatan itu, ia juga mengungkapkan, bahws penentuan harga BBM hasil penggelapannya itu tidak ada campur tangan dari petinggi manajemen PT Bahana Line.
“Selama ini harga ditentukan oleh KKM dan dibayarkan oleh terdakwa David dan Dodi saja. Jadi tidak pernah ketemu pimpinan Bahana, hanya bertemu dengan (terdakwa) David dan Dodi. Yang menentukan harga adalah KKM. Uang penerimaan hasil jual beli BBM selama ini juga tidak pernah kami terima di kantor Bahana tetapi dari luar,” pungkasnya.
Sebelumnya, Direksi Bahana Ratno Tuhuteru dalam kesaksiannya mengungkapkan jika awal berbisnis bertemu pemilik Meratus Charles Manaro dan selalu lancar. Namun Ia merasa geram ketika ada kasus ini, Dirut Meratus dan Auditor Fenny Karyadi selalu berusaha mengkaitkan direksi Bahana dengan ulah anak buahnya sendiri di Meratus.
Bahkan Ratno sempat mengancam akan nenempuh jalur hukum memperkarakan Slamet dan Feni. Akhirnya kesaksian Edi kali ini makin membuka fakta jika semua upaya membidik Direksi Bahana melalui cara pemaksaan dan penyekapan.(**)