Forum Anak ASEAN : Ciptakan Lingkungan Keluarga Suportif, Dukung Kesehatan Mental Anak Selama Pandemi Covid-19

JAKARTA, PEWARTASATU.COM – 6th ASEAN Children’s Forum (ACF) atau Forum Anak ASEAN ke-6 telah selesai dilaksanakan dengan Kamboja sebagai tuan rumah pelaksanaan ACF 2020 yang dilaksanakan secara daring. Momen ACF tahun ini berbeda karena pertama kalinya dilaksanakan secara daring. Para delegasi diberikan kesempatan 5-7 menit untuk menyampaikan kondisi terkini dan inovasi yang dilakukan selama pandemi Covid-19 di negaranya, dan seluruh delegasi juga diberi ruang untuk mendiskusikan serta menyepakati beberapa rekomendasi terkait isu yang dihadapi anak-anak di negara-negara ASEAN.

Delegasi dari 10 negara sepakat agar dalam situasi pandemi yang sulit sekarang ini, orangtua diharapkan mampu bekerjasama untuk menciptakan lingkungan keluarga yang suportif atau mendukung agar anak tidak terbebani, merasa bosan dan stres saat menjalani aktivitas di dalam rumah, seperti menjalani sekolah secara daring. Selain itu, peran orangtua sebagai pendengar yang baik bagi anak menjadi sangat penting untuk mengetahui kondisi kesehatan mental anak selama pandemi Covid- 19.

Rekomendasi ini didasarkan pada hasil presentasi delegasi Indonesia bahwa rasa bosan dan stres sering dialami sebagian besar anak, termasuk di Indonesia. Para delegasi Indonesia, yaitu Abdul Gilang Tawakkal (Forum Anak Sulsel), Belva Aulia (Forum Anak Jawa Tengah), Muhammad Lukman Ibrahim (perwakilan anak autism Jakarta), dan Ema Dilsiana (Bekasi), telah melakukan mini survey kepada 340 responden dengan rentang usia 9-17 tahun tentang pengaruh Covid-19 terhadap kesehatan mental mereka. Tujuan dari survey tersebut adalah untuk memperoleh gambaran kesehatan mental anak selama masa pandemi sebagai referensi informasi ACF 2020.

Hasil survey menunjukkan mayoritas anak merasa bosan karena kondisi gerak terbatas yang akhirnya mempengaruhi kesehatan mental mereka. Para responden anak mengaku kesulitan dengan tugas-tugas sekolah, sangat ingin bermain dan berinteraksi dengan teman-teman seperti biasanya sehingga sering kali malah menghabiskan waktu di media sosial karena kesepian. Rutinitas anak terganggu saat pandemi sehingga memicu banyak masalah seperti sulit mengerjakan tugas, terlalu banyak atau terlalu sedikit makan dan sulit tidur.

Kondisi ini dapat diperparah apabila anak berada dalam lingkungan keluarga yang orangtuanya diberhentikan dari pekerjaannya dan menyebabkan kondisi ekonomi keluarga yang kian terpuruk. Kebutuhan pemenuhan data internet untuk sekolah daring namun tidak dapat dipenuhi karena keterbatas yang dihadapi memperparah kondisi anak dan dapat memicu stres. Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka anak dapat mengalami depresi, kecemasan, dan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang berujung kepada tindakan menyakiti diri sendiri atau anggota keluarga, berada di situasi berbahaya, mengalami serangan panik, memisahkan diri dari keluarga hingga dalam kondisi ekstrem melakukan bunuh diri.

Kondisi stres juga dihadapi oleh teman sebaya mereka yang berkebutuhan khusus. Muhammad Lukman Ibrahim sebagai penyandang disabilitas menceritakan kondisi teman-temannya yang kesulitan bahkan tidak bisa menjalani terapi karena banyak klinik yang tidak beroperasi atau tidak menyediakan layanan secara tatap muka.
Menyikapi berbagai permasalahan tersebut, delegasi anak Indonesia mengajukan tiga pendekatan. Pertama, membangun kesadaran bahwa anak dan keluarga saling menyayangi sehingga anak merasa diterima oleh keluarganya dan tidak merasa sendirian. Kedua, pendidikan anak usia dini yang memanfaatkan teknologi digital. Ketiga, inovasi pelayanan daring sehingga anak mengetahui informasi seputar penyakit tidak dikenal serta sadar dengan kesehatan mental dirinya.
Delegasi anak Indonesia juga memperkenalkan dua pilar penyangga keluarga, yaitu membuat dan mendistribusikan buku elektronik ketahanan keluarga dalam menghadapi Covid-19 yang mencakup kebutuhan dasar, protokol di rumah, perawatan responsif, dukungan terhadap emosi anak, dukungan terhadap kesejahteraan pengasuh, dan koneksi sosial. Pilar kedua, yaitu pemanfaatan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di berbagai kota/kabupaten dan memberi pelayanan secara gratis berupa konsultasi psikologis secara daring dan luring bagi anak-anak dan remaja, melakukan kampanye kesadaran kesehatan mental kepada anak-anak dan remaja, dan menyosialisasikan layanan Puspaga dari pintu ke pintu ke daerah 3T ( Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) wilayah Indonesia.

Lenny Rosalin, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berharap informasi dan hasil rekomendasi akan disampaikan kepada Pemerintah Indonesia khususnya Kemen PPPA dan Kementerian Sosial sebagai bahan perbaikan kebijakan perlindungan anak. Pertemuan ACF adalah forum yang diselenggarakan setiap 2 (dua) tahun dan selanjutnya akan dilaksanakan pada 2022 dengan Indonesia sebagai tuan rumah.(Maulina)

Maulina Lestari: