DALAM konteks perdagangan, relasi subyek (pedagang) – obyek (pembeli) adalah kekuatan utama dalam penataan perdagangan. Yang berarti pula sebagai kekuatan utama dalam penataan ekonomi nasional, baik mikro maupun makro.
Persoalannya kemudian adalah, apakah harga jual dari produsen mampu dijangkau oleh daya beli konsumen? Jika ternyata tidak, maka permasalahan akan muncul ke permukaan. Kegiatan ekonomi tidak akan berjalan normal, kebutuhan sehari-hari masyarakat terancam tidak terpenuhi baik itu kebutuhan hidup konsumen ataupun kebutuhan produsen.
Ancaman ilustrasi di atas semakin mendekati kenyataan. Hal ini tergambar dari pemberitaan beberapa hari terakhir yang diramaikan oleh naiknya harga Pertamax. PT Pertamina (Persero) secara resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi jenis Pertamax (RON 92), yang berlaku efektif per hari Jumat, 1 April 2022, pukul 00:00 waktu setempat.
Berdasarkan pengumuman resmi perseroan, harga Pertamax per 1 April 2022 ini naik menjadi di kisaran Rp 12.500 sampai Rp 13.500 per liter dari sebelumnya Rp 9.000 sampai Rp 9.400 per liter. Tingginya harga BBM itu setidaknya akan berpengaruh terhadap harga-harga pangan dan kebutuhan lainnya.
Pasalnya, penentuan harga-harga selalu mepertimbangkan biaya distribusi baik barang, opersional pelaku usaha dan lain sebagainya. Kenaikan harga barang inilah yang menjadi ujung dari efek domino naiknya harga BBM tersebut.
Salah satu contohnya, sehari menjelang Ramadhan 1443 Hijriah, kebutuhan pokok mulai naik di Pasar Tradisional Lambaro, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Data dari Serambinews.com, di antara harga kebutuhan yang naik, yaitu agar-agar yang sebelumnya Rp 48 ribu satu kota naik menjadi Rp 55 ribu/kotak. Kemudian garam isi 30 Kg naik dari Rp 130 ribu/zak menjadi Rp 150 ribu/zak, tepung terigu 25 kilogram naik dari Rp 200 ribu/zak menjadi Rp 205 ribu/zak. Sirup cap patung dari Rp 220 ribu per lusin naik menjadi Rp 230 ribu per lusin. Sejumlah kebutuhan pokok lainnya juga ikut naik karena dipicu naiknya harga BBM.
Pemerintah melalui Kementrian ESDM dan Kemetrian Perdagangan menjadi unsur yang paling bertanggung jawab atas kenaikan BBM yang berefek pada kenaikan harga barang di pasaran tersebut.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agung Pribadi menyatakan dengan mempertimbangkan harga minyak bulan Maret yang jauh lebih tinggi dibanding Februari, maka harga keekonomian atau batas atas BBM umum RON 92 bulan April 2022 akan lebih tinggi lagi dari Rp 14.526 per liter pada Maret 2022 bisa menjadi sekitar Rp 16.000 per liter. Dengan demikian, penyesuaian harga Pertamax menjadi Rp 12.500 per liter ini masih lebih rendah Rp 3.500 dari nilai keekonomiannya.
Pada kesempatan yang berbeda, Menteri Menteri Bandan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir menyampaikan, Pertamax RON 92 tidak lagi diputuskan menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Pertamax nantinya akan mengikuti pergerakan harga minyak dunia atau tidak disubsidi oleh pemerintah.
Atas dasar pertimbangan stabilitas ekonomi nasional, harga pangan dan kebutuhan lainnya, Kementrian ESDM mestinya tidak terburu-buru mengambil keputusan itu. Apalagi sampai saat ini, harga minyak goreng belum juga bisa dikembalikan ke harga normalnya.
Pemerintah semestinya melihat efek dominonya sebagai pertimbangan utama.
Keputusan harga Pertamax mengikuti pergerakan harga minyak dunia harus dikaji terlebih dahulu sisi positif negatifnya. Apakah harga barang-barang yang ikut mempengaruhi satbilitas ekonomi nasional terkena dampaknya atau tidak.
Nalar kritik akhirnya sampai pada penyudutan pemerintah yang terlihat kurang antisipatif terhadap ancaman efek domino kenaikan harga BBM tersebut. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan semestinya segera membendung harga kebutuhan masyarakat yang sudah terjadi di Aceh sehingga tidak terjadi di daerah-daerah lainnya. Kebijakan stabilitas harga mesti segera diterbitkan bekerjasama dengan pemerintah setempat, eksekusinya bisa dalam bentuk sidak pasar atau cara-cara lainnya yang relevan.
Kementrian ESDM juga jangan sampai gagal mengontrol stabilitas harga BBM. Kementrian ESDM harus lebih hati-hati lagi dalam mengambil keputusan, apalagi BBM terkait erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Selain itu, pemerintah harus menyiapkan strategi dan formula yang efektif untuk mengontrol stabilitas sosial di tengah Ramadhan ini, karena kenaikan BBM ini pastinya akan menuai banyak kritikan dari berbagai elemen masyarakat, khususnya dari kalangan mahasiswa.
Oleh: Muqaddam Hehanussa, Ketua Umum HMI Komisariat Hukum Universitas Nasional Jakarta