Indonesia Memiliki 3 Provinsi Baru Papua, Begini Tanggapan OAP UGM

JAKARTA, Pewartasatu.com – Indonesia kini  memiliki tiga provinsi baru di Papua sehingga total provinsi di Indonesia berjumlah 37.

Tiga provinsi baru itu ialah Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Selatan.

Pengesahan tiga undang-undang tentang tiga provinsi itu dilakukan DPR dalam rapat paripurna yang digelar pada Kamis (30/6/2022) lalu.

Merespon pengesahan RUU ini, Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) mengadakan Papua Strategic Policy Forum (PSPF) ke-12 dengan tema “Pemekaran sebagai Resolusi Konflik?”.

Acara PSPF adalah agenda rutin yang dilaksanakan oleh GTP UGM dan PPKK FISIPOL UGM dengan mengangkat berbagai tajuk aktual mengenai Papua.

Dalam acara tersebut, Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr. Gabriel Lele, mengatakan GTP UGM berupaya menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua.

Menurutnya, hal tersebut harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural serta negara juga wajib memberikan intervensi secara menyeluruh.

“GTP UGM memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi,” ucapnya dikutip dari laman resmi UGM, Sabtu (9/7/2022).

“Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik,” imbuhnya.

Namun Gabriel menyayangkan bahwa undang-undang yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu masih jauh dari semangat tersebut.

Meski begitu, langkah tersebut merupakan kompromi terbaik yang dapat diambil pemerintah untuk sampai saat ini.

Aspirasi Masyarakat Papua terkait pro kontra yang timbul, Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito, mengatakan pemekaran tiga provinsi baru di Tanah Papua sebenarnya berasal dari aspirasi masyarakat dan juga elite Papua.

Untuk mengantisipasi pro kontra ini, pihaknya telah memetakan faktor pendukung pemekaran Provinsi Papua.

Misalnya terkait konfigurasi politik lokal, khususnya polarisasi antara masyarakat pegunungan dan pesisir. Faktor lain, sambungnya, yakni kondisi geografis yang sangat luas dan rumit, adanya aspirasi yang kuat, dan adanya best practice ketika pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat) yang berhasil dengan baik.

Valent juga menyampaikan, pemerintah telah menyusun roadmap pelaksanaan operasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan di provinsi baru.

Roadmap ini, lanjutnya, mencakup pelantikan Pj. Gubernur, peresmian provinsi, pembentukan perangkat daerah/manajemen ASN, serta pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP).

“Kami juga telah mendesain penyusunan peraturan gubernur tentang R-APBD, pengisian DPR RI, DPD RI, dan DPRP. Penetapan daerah pemilihan pemilu 2024 juga sudah diatur hingga sampai pengalihan aset dan dokumen, penyusunan rencana tata ruang wilayah, penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan, pengalokasian dana hibah, serta pembinaan, pengawasan, dan evaluasi,” tutur Valent.

Asisten Deputi Koordinasi Otonomi Khusus pada Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam, Brigjen TNI Danu Prionggo, mengatakan pemerintah telah memetakan potensi kemungkinan terjadinya konflik pra maupun pasca pemekaran.

“Misalnya potensi penolakan DOB, penentuan cakupan wilayah, penentuan ibu kota, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, menguatnya arus migrasi ke Papua, serta konflik kepemilikan tanah,” ungkap Danu.

Kekhawatiran tersebut juga disadari akademisi Universitas Cenderawasih, Dr. Basir Rohromana yang mengatakan bahwa berbagai potensi konflik tersebut merupakan potensi konflik lanjutan masa lalu.

“Banyak konflik lanjutan, seperti tarik menarik ibu kota, disorientasi, stigmatisasi, dan lain-lain,” ungkap Basir.

Menurutnya, pemerintah telah melakukan langkah-langkah strategis pengelolaan potensi konflik pemekaran dimulai dari komunikasi politik dengan elit lokal, komunikasi sosial kepada masyarakat, hingga melakukan pendekatan kultural kepada masyarakat melalui pemerintah daerah.

Memberi Kesejahteraan untuk OAP
Sementara itu, Deputi Bidang Politik dan Pemerintahan Jaringan Damai Papua (JDP) Pares L. Wenda juga memberi catatan tentang pemekaran, agar dapat menyejahterakan OAP dan tidak elitis.

Pares berharap pemekaran dapat memberikan garansi agar pelanggaran HAM dan marjinalisasi OAP tidak terjadi lagi.

Pembangunan pasca pemekaran juga diharapkan dapat menyentuh OAP hingga akar rumput.

Guru Besar FISIPOL UGM Prof. Purwo Santoso menyampaikan bahwa OAP masih sering terjebak konflik dan krisis kepercayaan selama 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

“Gagasan mengedepankan kekhususan Papua masih sangat membingungkan, utamanya pada level detail.

Pemerintah kerap menggunakan perspektif hitam putih di atas realitas sosial, sehingga masih menyisakan berbagai persoalan,” paparnya.(**)

Maulina Lestari: