Ekonomi

Jadi Sorotan Tajam, Skema Power Wheeling Ditolak Serikat Pekerja PLN

JAKARTA, Pewartasatu.com – Sebagai sebuah konsep yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, Power Wheeling kini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia. Skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.

Menurut Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, M Abrar Ali, Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling. Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya. Sedangkan Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.

“Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar “Toll Fee.” Namun, penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi,” papar Abrar.

Pihaknya juga memberikan analisis dampak Power Wheeling berdasarkan berbagai perspektif. Misalnya dari aspek keuangan, di mana Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%, yang akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.

Kemudian terjadi pula beban untuk keuangan negara. Di mana setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara.

“Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun,” ungkap Abrar.

Sementara untuk dampak hukum, menurut Adi terjadi kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022, di mana Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling. Namun, kondisi ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.

“Selain itu Power Wheeling juga mereduksi peran negara. Skema ini akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan,” tukasnya.

Masih menurut Abrar, ada juga potensi sengketa di mana Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas.

“Sedangkan untuk dampak teknis akan memperparah over supply. Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami over supply. Sehingga penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.

“Selain itu, meningkatnya Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen,” tegas Abrar.

“¿ Ketahanan energi juga bisa terdampak yaitu terkait ketersediaan akses listrik. Pasalnya, dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat,” jelasnya.

Disebutkan pula, bahwa penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve juga akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN.

Abrar mengingatkan, dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.

“Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara,” bebernya.

Lebih dalam Abrar menjelaskan, Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor kelistrikan.

“Kemunculan kembali skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini,” tukasnya.

Selain itu, lanjut dia, terdapat indikasi adanya upaya privatisasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui pasal-pasal tertentu dalam RUU EBT.

“Privatisasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060. Liberalisasi ini dapat mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional,” pungkasnya.(**)

Leave a Comment