JAKARTA, Pewartasatu.com – Koordinator Tim Advokasi Pejuang Penegak Konstitusi (PETISI), <span;>Fredrik J Pinakunary, SH, SE, mengatakan bahwa Putusan Hakim Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 merupakan bentuk dari strong abusive judicial review yaitu penyalahgunaan kewenangan yang aktif dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk merusak sendi-sendi demokrasi dan negara hukum, sehingga harus dilawan.
Hal ini disampaikan Fredrik dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin (06/11), mengutip hasil eksaminasi yang dilakukan oleh pakar-pakar Hukum Tata Negara, diantaranya Eksaminator Prof. Susi Dwi Harijanti.
“Kami berharap sidang uji materiel yang kami ajukan ini segera digelar dan dibuka seluas-luasnya kepada publik karena publik perlu tahu bahwa perkara ini menyangkut hal yang sangat serius bagi tegak dan wibawanya konstitusi,” katanya.
Advokat yang namanya sangat dikenal publik sebagai salah seorang penasehat hukum yang berhasil membela Richard Eliezer dalam Kasus Ferdi Sambo beberapa waktu lalu itu menambahkan, jika Majelis Kehormatan MK (MKMK) besok memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran etika, maka permohonan yang diajukan pihaknya akan menjadi tindak lanjut dari hasil putusan MKMK tersebut.
“Sebaliknya bila MKMK memutuskan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan publik maka judicial review yang kami ajukan ini tetap memberikan jalan dan harapan untuk penegakan konstitsi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” tukasnya.
“Kami sangat siap menghadapi persidangan ini, terutama dengan bukti-bukti dan juga untuk menghadirkan ahli-ahli yang sangat kompeten dan memiliki integritas tinggi demi selamatnya demokrasi dan tegaknya konstitusi di negeri ini,” pungkasnya.
Seperti diketahui, tiga warga negara yaitu Sugeng Nugroho Aktivis Nelayan, Teguh Prihandoko Koordinator Jaringan Arek Ksatria Airlangga, keduanya dikenal sebagai tokoh-tokoh Relawan Jokowi dari Jawa Timur pada Pilpres-pilpres sebelumnya dan Azeem Marhendra Amedi, Sarjana Hukum Tata Negara yang saat ini sedang menyelesaikan studinya untuk Program Master of Law (LLM) di University of York UK, secara bersama-sama mengajukan permohonan pengujian Pasal 10 dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi) terhadap Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Mereka juga menunjuk Fredrik Jacob Pinakunary, S.H., S.E., Sabar Maruli Simamora, S.H., M.H., Kukuh Pramono Budi, S.H., M.H., Dedy Purwoko, S.H., Kristian Wahyu Hidayat, S.H. dan Yan Reinold Sihite, S.H. yang tergabung dan menamakan diri Tim Advokasi PETISI sebagai kuasaa hukum dalam permohonan Uji Materiel yang mereka ajukan.
Menurut Sugeng Nugroho, pihaknya tahu saat ini sedang berlangsung sidang Majelis Kehormatan MK untuk memeriksa apakah terjadi pelanggaran etika yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi dalam mengadili perkara No. 90/PUU – XXI/2023.
“Namun kami perlu mengantisipasi bila ternyata hasil sidang MKMK ini tidak sesuai dengan harapan publik. Jangan sampai perjuangan untuk menegakkan keadilan dan menjaga konstitusi ini kemudian dianggap selesai hanya sampai disitu,” kata Sugeng.
Pernyataan Sugeng diamini Sabar Simamora, SH, MH, seorang Advokat Senior di Jakarta yang menjadi kuasa hukum dalam perkara ini. Sabar menambahkan bahwa perkara No. 90 / PUU – XXI / 2023 itu bukan hal sepele, tapi menyangkut kepentingan publik secara luas.
“Di dalam hukum yang berlaku secara umum dikenal asas Salus Populi Suprema Lex Esto, atinya Keselamatan Rakyat, Keselamatan Warga, jauh lebih tinggi dari konstitusi itu sendiri. Asas tersebut tentunya mengesampingkan Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya Putusan Hakim Harus Dianggap Benar dan Harus Dilaksanakan,” pungkasnya.
Pernyataan Sabar ini merupakan argumentasi yang mematahkan pendapat – pendapat yang beredar bahwa seakan-akan Putusan MK yang kontroversial soal batas usia Capres dan Cawapres itu harus diterima begitu saja oleh publik, suka atau tidak suka.(**)