Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren Banyuwangi, Menteri PPPA Ingatkan Perlu Alarm Pencegahan

MenteriPPPA, Bintang Puspayoga. (Foto: Humas)

 

JAKARTA, Pewartasatu.com– Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sangat menyesalkan terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap enam santri yang diduga dilakukan seorang pengasuh Pondok Pesantren, inisial (F), di Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

KemenPPPA mendorong aparat penegak hukum mengusut kasus ini secara tuntas, dengan segera menangkap dan menahan pelaku serta menjatuhkan sanksi pidana maksimal.

Melalui koordinasi KemenPPPA dengan P2TP2A Kabupaten Banyuwangi dan Polres Banyuwangi, terungkap bahwa korban melapor enam orang, yakni lima santri perempuan dan satu santri laki-laki.

“Apabila masih ada korban lain, kami sangat mengharapkan korban mau melapor agar dapat dilakukan pendampingan untuk pemulihan akibat trauma kekerasan seksual yang dialaminya.”

“Peran orang tua dan pendamping sangat perlu untuk mendukung anak agar mau melapor sehingga kasus ini dapat dituntaskan secepatnya dan pelaku mendapatkan hukuman seberat-beratnya atas perbuatan kejinya,” kata Menteri PPPA, Bintang Puspayoga dalam keterangan pers pada Minggu (26/6).

Tim SAPA 129 KemenPPPA akan terus berkoordinasi dengan P2TP2A Kabupaten Banyuwangi dan DinsosP2KB Banyuwangi untuk memastikan pendampingan terhadap korban berjalan baik, baik secara hukum dan pendampingan psikologis untuk pemulihan psikis dan mental korban.

Menteri PPPA menegaskan kasus kekerasan seksual yang terus berulang di pondok pesantren seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah, pengelola dan pemilik pondok pesantren, masyarakat serta orang tua agar terus melakukan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik dan mental, diskriminasi dan perlakuan salah.

Ditekankannya, lembaga pendidikan bertujuan untuk menciptakan tenaga didik yang berkualitas, baik fisik dan mental, spiritual untuk menghasilkan generasi unggul bagi masa depan bangsa.

“Jangan lagi ada tenaga pendidik yang membuat anak menjadi terluka fisik dan mentalnya karena mendapat perlakuan kekerasan. Semua lembaga pendidikan bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap anak didiknya, memenuhi hak anak untuk mendapatkan proses belajar yang aman dan nyaman.’

‘Khususnya di Pondok Pesantren, telah ada Program Pesantren Ramah Anak untuk menciptakan lingkungan pesantren yang menyenangkan bagi anak, mendidik untuk khusyuk beribadah, senang belajar dan kreatif serta sekaligus memberikan pengasuhan bagi anak-anak yang tinggal di sana,” tegas Menteri PPPA.

Menteri PPPA mengharapkan tidak ada stigma negatif dari masyarakat dan memberikan dukungan bagi pemulihan trauma korban sehingga dapat segera kembali ke tengah masyarakat, bergaul dengan sesama temannya dan bersekolah.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar mengatakan kasus ini terungkap setelah salah satu orang tua melapor ke Polres Banyuwangi dengan terlapornya adalah pengasuh di Pondok Pesantren tersebut.

Polisi segera menangani kasus tersebut dan melakukan visum terhadap empat korban. Dari keterangan para saksi dan hasil bukti visum, terungkap bahwa dari keenam korban, lima diantaranya korban pencabulan dan satu perempuan korban persetubuhan. Adapun kelima korban pencabulan itu, korbannya adalah empat perempuan dan satu laki-laki.

Kasus ini telah masuk dalam tahap penyidikan namun terlapor (F) belum ditetapkan sebagai tersangka. Polisi masih akan melakukan pemanggilan terhadap terlapor pada Selasa (28/6).

“KemenPPPA mendorong aparat penegak hukum dapat memberikan sanksi hukuman kepada pelaku berdasarkan UU yang berlaku. Penegakan hukum sangat perlu agar menimbulkan efek jera bagi pelaku dan siapapun sehingga kasus serupa tidak berulang,” tegas Nahar.

Nahar mengatakan apabila perbuatan pelaku memenuhi unsur persetubuhan dan pencabulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dan Pasal 76E UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, maka KemenPPPA mendorong penerapan sanksi hukum sesuai Pasal 81 dan Pasal 82 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.(*”)

Maulina Lestari: