JAKARTA, Pewartasatu.comn – Kebijakan pemerintah terkait upaya untuk menghentikan praktik impor pakaian bekas yang dilakukan secara ilegal didukung Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo). Volume
Hal ini disampaikan Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah di Jakarta, Minggu (19/3/2023). “Selaku asosiasi yang memiliki toko dan menjual merek global, kami pasti keberatan bila barang bekas dengan merek sama. Meskipum jumlah yang masuk misalnya kecil tetap akan mematikan toko kami yang menjual barang baru termasuk masalah paten HAKI merek apalagi bila barang bekasnya palsu. Orang luar negeri akan takut berinvestasi di Indonesia bila hal ini tidak diatur,” tukasnya
Lebih lanjut, Budihardjo menyebut bahwa penting untuk digarisbawahi dan dipisahkan narasi thifting atau praktik membeli pakaian bekas yang merupakan bagian dari lgaya hidup, dengan maraknya impor pakaian bekas ilegal dalam jumlah yang masif.
“Hal ini secara perlahan akan mengubah lanskap dan berpotensi menguasai ekosistem retail market di Indonesia serta menimbulkan persaingan usaha yang tidak adil,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah tentu mendukung aspek positif yang ada di dalam budaya thrifting, yang salah satu aspek positifnya adalah upaya masyarakat terutama anak muda yang sadar untuk mengurangi limbah pakaian yang banyak diciptakan dari budaya over comsumption yang bisa merusak lingkungan adalah pilihan gaya hidup.
“Namun harus diperjelas bahwa memperjualbelikan barang bekas tentunya bukan dilarang jika asalnya adalah dari perputaran atau pertukaran tangan di dalam negeri,” tegas Budihardjo.
Maka dari itu, penolakan masuknya barang-barang bekas dari luar itu bukan hanya permasalahan thrifting, tapi penyelundupan pakaian bekas dari luar negeri atau impor pakaian bekas secara ilegal.
“Produsen pakaian jadi buatan Indonesia sebagian besar adalah UMKM Indonesia yang juga sebagian besar membeli kain yang diproduksi di Indonesia. Inilah yang dikeluhkan produsen kain dan pakaian jadi Indonesia,” ujarnya.
Tindakan ini juga dikatakan tidak sesuai dengan upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat mencintai produk dalam negeri yang digaungkan melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) dan 40% belanja pemerintah wajib membeli produk lokal.
“Maka dari itu, ini adalah momen untuk mendorong para importir mengajak partnernya membuat produk di dalam negeri (kebijakan substitusi impor) bukan hanya pakaian jadi. Dalam upaya menciptakan lapangan kerja di dalam negeri dan multiplier effect dari penciptaan lapangan kerja di Indonesia,” pungkasnya.(**)