JAKARTA, Pewartasatu.com– Forum Anak Nasional (FAN) sebagai wadah partisipasi anak di bawah binaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) saat ini sudah terbentuk di 34 provinsi, 439 kabupaten/kota, 316 kecamatan, hingga 232 Forum Anak di tingkat desa.
Tersebarnya anggota FAN di seluruh Indonesia dengan peran mereka sebagai pelopor dan pelapor diharapkan dapat berkontribusi lebih masif dalam pencegahan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Salah satu isu besar yang penting untuk diakhiri adalah isu perkawinan anak.
Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari pada Webinar Series ‘Road to Tomohon’: Penguatan Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P) dengan tema “Peran Anak dalam Pencegahan Perkawinan Anak dan Pemahaman Kesehatan Reproduksi” mengatakan, Forum Anak dapat berpartisipasi lebih besar untuk membantu kebijakan pemerintah dalam menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia.
“Topik webinar pada hari ini merupakan masalah kita semua, yaitu masih tingginya angka perkawinan anak di Indonesia. Kalian sebagai pelopor dan pelapor bisa ikut berkontribusi mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak. Isu perkawinan anak menjadi salah satu topik besar dalam Hari Anak Sedunia yang akan dirayakan di Kota Manado pada tanggal 20 November mendatang. Kami harapkan kalian dapat menyampaikan rencana aksi yang dapat diterapkan di daerah, terutama daerah yang perkawinan anaknya masih tinggi dan pemahaman kesehatan reproduksi,” ujar Rohika pada Sabtu (05/11).
Advocacy Officer Save the Children Indonesia, Siti Fuadilla sepakat pencegahan perkawinan anak harus dilakukan serentak dan berkelanjutan. Isu perkawinan anak di Indonesia sangat mengkhawatirkan dan saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.
“Berdasarkan data Koalisi Perempuan Indonesia, 1 dari 8 anak perempuan yang ada di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Kita melihat urgensinya, di tingkat dunia maupun di Indonesia, perkawinan anak sudah sangat penting untuk kita cegah bersama,” tutur Dilla.
Dilla mengatakan, dalam menjalankan peran sebagai pelopor dan pelapor, anak dapat berpartisipasi pada tahap konsultatif, kolaboratif, maupun memimpin upaya maupun kegiatan pencegahan perkawinan anak.
“Sebagai pelopor, anak dapat mengembangkan karakter dan kebiasaan baik pada diri yang bermanfaat bagi lingkungannya dalam pencegahan perkawinan anak. Tingkatkan pengetahuan untuk berpikir kritis, termasuk pengetahuan mengenai dampak perkawinan anak yang berbahaya, kemudian sampaikan kepada lingkungan sekitar. Itu merupakan salah satu bentuk menjadi pelopor. Anak juga bisa melakukan pendekatan interpersonal kepada teman sebaya dan menularkan kebiasaan baik terkait pencegahan perkawinan anak serta melakukan kegiatan yang berkontribusi positif dalam pencegahan perkawinan anak,” jelas Dilla.
Untuk memperkuat posisi Forum Anak sebagai pelapor, Dilla menyatakan bahwa mereka dapat melaporkan dugaan atau melihat indikasi terjadinya kasus perkawinan anak di lingkungannya. Anak dapat melakukan pelaporan kepada guru di sekolah, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), maupun Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) melalui call center 129 atau Whatsapp 08111-129-129. “Namun demikian, ketika menjadi pelapor, kerahasiaan, keamanan, dan privasi anak harus dijaga oleh orang dewasa yang menerima laporan,” kata Dilla.
Dalam kesempatan yang sama, Dokter Spesialis Kandungan Kebidanan, Fita Maulina mengatakan, perkawinan anak merupakan isu global yang menyebabkan banyak permasalahan saat kehamilan. “Kehamilan di usia muda atau anak dapat menyebabkan persalinan prematur atau kurang bulan; hamil dengan penyakit lainnya, seperti anemia karena ketidaktahuan pentingnya nutrisi; keguguran berulang; kelainan pada janin; dan Angka Kematian Ibu/Bayi meningkat. Pastikan menikah bukan karena sudah hamil duluan, bukan karena malu dengan sosial masyarakat. Pastikan perkawinan dan kehamilan sehat, serta jangan bergonta-ganti pasangan,” ujar Fita.
Fita mengatakan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa usia paling sehat untuk menikah adalah 21-35 tahun. “Karena organ reproduksinya sudah sempurna; dari segi ekonomi sudah cukup mampu; mental sudah siap; serta pengetahuan mengenai pentingnya nutrisi dan kehamilan sudah banyak didapat dan dipelajari,” tutup Mita.(**)