Illustrasi, proyek kereta api cepat Jakarta – Bandung yang sedang dibangun yang ternyata menyedot dana rakyat melalui APBN. (foto: Setkab.go.id)
Pewarta Satu — Kritik terhadap kebijakan Presiden Jokowi soal pembiayaan kereta api cepat ternyata belum selesai. Di saat Presiden berada di luar negeri menghadiri KTT G-20 di Roma, Italia, kritik itu muncul lagi. Pimpinan DPR, Rahmat Gobel, mengeritik pemerintah yang tidak konsisten dan memaksakan diri memakai dana APBN.
Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) itu tegas menyatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seharusnya difokuskan untuk pemulihan ekonomi dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru.
“Soal kereta cepat biar kita serahkan ke investornya. Ini sesuai dengan ide awal yang berprinsip business to business,” tegas Gobel dalam keterangan yang dimuat laman resmi DPR, Parlementaria dan dikutip Pewarta Satu, Minggu (31/10).
Diketahui, awal bulan ini pemerintah telah menetapkan perubahan pembiayaan proyek kereta api cepat. Tanpa mengindahkan kritik dari berbagai lapisan masyarakat, tanggal 6 Oktober Pemerintah mengundangkan Perpres No.93 Tahun 2021. Perpres ini mengubah ketentuan sebelumnya, yakni Perpres No.107 Tahun 2015.
Tidak begitu jelas, bagaimana sikap resmi dan keputusan DPR sebagai lembaga yang punya hak budgeting. Yang pasti, banyak pihak yang berteriak atas pembengkakan anggaran kereta cepat ini, dari semula 6,07 miliar dollar AS atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi 8 miliar dollar AS atau setara Rp114,24 triliun. Juga, atas tidak konsistennya Presiden yang semula berjanji tidak akan menggunakan dana APBN dalam proyek ini.
Semula, pemerintah menyetujui pembuatan kereta cepat itu tak akan memakan APBN karena menganut skema business to business. Namun demikian, hingga saat ini anggaran pembangunan terus membengkak.
“Yang pasti hingga kini sudah bengkak dua kali. Kondisi ini sudah berkebalikan dengan tiga janji semula serta sudah lebih mahal dari proposal Jepang. Padahal dari segi kualitas pasti Jepang jauh lebih baik,” tandas Gobel yang juga politisi Partai Nasdem itu.
Gobel meminta pemerintah berfokus pada prioritas penggunaan anggaran saat ini, yakni untuk penanganan Covid-19, pemulihan ekonomi dan pembangunan ibukota negara baru.
Pemerintah, kata Gobel, harus konsisten dengan skema pembangunan yang sejak dari awal sudah diputuskan. Pembengkakan biaya, dinilai Gobel seharusnya diserahkan ke perusahaan konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PTPN VIII.
“Jadi jika terjadi pembengkakan biaya maka diserahkan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Dan jika ada perusahaan yang tak mampu menyetorkan biaya tambahan maka sahamnya terdelusi dengan sendirinya. Ini proses bisnis yang biasa saja. Ini namanya business to business. Jangan memaksakan diri dengan meminta dana dari APBN,” kritik politisi Partai NasDem itu sembari meminta KCIC dapat bertindak secara transparan dan jujur dalam menggarap proyek tersebut.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Kereta Api Indonesia (KAI) Salusra Wijaya menyebut kebutuhan investasi proyek akan meningkat karena Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun. Padahal, setoran itu seharusnya dilakukan sejak Desember 2020. Jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar Rp4,1 triliun. (ram)