Oleh Ramly Amin
AKHIRNYA pemerintah bersama DPR dan penyelenggara Pemilu memutuskan, Pilkada 2020 tetap digelar 9 Desember tahun ini. Harapan sejumlah pihak agar pilkada ditunda, yang antara lain datang dari dua ormas Islam terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah, organisasi keagamaan lain, serta beberapa pihak termasuk yang berhimpun di lembaga “oposisi” seperti KAMI, kandas sudah. “Suara Publik Diabaikan, ’’ begitu judul berita utama harian Kompas (22/9-2020).
Harapan atau desakan berbagai pihak untuk menunda Pilkada, didasarkan pada pertimbangan demi keselamatan rakyat di tengah pandemic Covid 19. Pertimbangan ini sangat beralasan mengingat hingga kini — sejak penanganan wabah Covid 19 mulai diberlakukan pemerintah awal April 2020 – kasus positip corona dan kematian di Indonesia terus mengalami lonjakan yang cukup signifikan (per 22/9-20 pk 12.00 WIB; penambahan kasus baru mencapai 4.071 kasus, total positif Covid-19 mencapai 252.923).
Kapan pandemi Covid-19 ini berlalu,atau sampai kapan negeri ini terbebas dari kondisi darurat kesehatan karena wabah ini, memang tak seorang pun tahu. Justru, hal inilah yang memperkuat dalih pemerintah (kemudian bersama DPR dan penyelenggara Pemilu) tetap memutuskan Pilkada 9 Desember 2020 jalan terus, selain dalih menjaga hak konstitusi rakyat untuk memilih dan dipilih. Argumennya: kalau mau ditunda, sampai kapan?
Harapan tinggal harapan. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Tinggal kini, semua dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sah negeri ini. Rakyatlah yang pada akhirnya menjadi ‘’hakim’’ yang paling menentukan, apakah di tengah ancaman wabah penyakit mematikan yang belum juga berkurang itu, pada hari H nanti (9 Desember 2020) akan memilih pergi ke TPS atau memilih tinggal saja di rumah sebagaimana anjuran protokol kesehatan.
Harapan pemerintah, tentu saja juga harapan rakyat dan semua pihak, Pilkada berlangsung sukses. Hampir dipastikan, tidak ada pihak atau bagian dari masyarakat mana pun di negeri ini yang tidak menginginkan Pilkada berlangsung sukses. Hanya saja, yang perlu digarisbawahi, kondisi yang ada tentulah akan menyebabkan turun atau rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam Pilkada.
Bukankan secara teroritis Pilkada itu dimaksudkan untuk mencari pemimpin yang legitimate, dan karenanya sangat erat kaitannya dengan tinggi rendahnya tingkat partisipasi pemilih?
Rakyat sangat paham akan hal itu. Bahwa kenyataan antara teori dan praktek berbeda jauh, bahkan bertolak belakang, rakyat juga sangat paham akan hal itu. Buktinya, ketika wakil rakyat wakil rakyat secara bulat menyetujui keputusan Pilkada serentak tetap 9 Desember 2020 –sementara pihak yang diwakilinya minta ditunda — rakyat hanya diam.
Bahwa prolog yang berkembang seiring dengan bergulirnya desakan penundaan Pilkada serentak ini adalah ribut ribut soal cukong alias demokratisasi cukong, rakyat juga tahu betul akan hal itu. Bahwa di balik ngototnya pemerintah bersama DPR dan penyelenggara Pemilu menggelar Pilkada serentak ini diduga tak lepas dari kepentingan dan syahwat kekuasaan, rakyat juga maklum.
Biarkanlah pada hari H nanti rakyat yang memutuskan. Rakyat tak perlu dipengaruhi. Apalagi diajak untuk tidak memilih, itu melanggar undang-undang. Kalau pembaca bertanya, bagaimana dengan penulis? Saya akan jawab: pelaksanaan hak berdemokrasi identik dengan kerumunan. Karenanya saya lebih memilih mengikuti protokol kesehatan. Titik. (Ramly Amin, wartawan senior)