Anis Byarwati. (Foto: Ist)
JAKARTA, Pewartasatu.com – Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Bidang Ekonomi dan Keuangan Anis Byarwati menyebut bahwa Indonesia masuk 15 negara Asia terdampak resesi ekonomi global.
“Sri Lanka menjadi negara urutan pertama negara yang memiliki kemungkinan mengalami resesi hingga 85 persen, sedangkan Indonesia berada diperingkat ke 14 negara menurut data Bloomberg, dengan probability krisis sebesar 3 persen,” katanya pada Kamis (28/10).
Anggota Komisi XI DPR RI ini mengungkapkan bahwa tidak tertutup kemungkinan kedepan risikonya untuk Indonesia akan terus meningkat, mengingat kombinasi tingginya tingkat inflasi dan suku bunga menyebabkan terjadinya perlambatan ekonomi (stagflasi) ada efek rambatan kepada ekonomi domestik.
“Bahkan BI sudah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelumnya mencapai 4,7 – 5,5 persen menjadi turun ke 4,6 hingga ke 5,2 persen,” ujarnya.
Anis menyebut bahwa dengan proyeksi resesi akan melanda Amerika dan merembet pada Negara lain akibat kenaikan suku bunga secara agresif untuk menekan inflasi, mata uang rupiah akan kewalahan. “Cadangan devisa Indonesia terus tergerus, September tahun lalu mencapai 146,9 miliar USD dan September 2022 hanya 130,8 miliar USD, artinya BI susah payah menjaga volatilitas nilai tukar rupiah agar stabil,” katanya.
Menurut Aleg Perempuan PKS ini pemerintah harus mengendalikan laju inflasi dengan menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat. “Selain itu dari sisi fiskal pemerintah perlu menjaga efektifitas dan efisiensi belanja negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, caranya dengan prioritas belanja yang berkualitas dan menunda proyek ambisius seperti pembangunan Ibukota baru disaat resesi ekonomi global,” serunya.
Wakil Ketua BAKN DPR RI ini mengkuatirkan jika pemerintah terus mengejar proyek proyek mercusuar yang komponen impornya tinggi dan tidak berdampak pada daya beli masyarakat, Indonesia akan terdampak parah akibat resesi ekonomi global.
“Perlu diingat pula total utang pemerintah kembali naik per 30 September 2022, menurut catatan terakhir sebesar Rp 7.420 triliun, total utang naik sekitar 2,54 persen bila dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp 7.236,61 triliun, jadi pemerintah harus menjaga rasio utang yang terkendali dan memprioritaskan untuk kebutuhan yang mendesak,” ujarnya.(**)