JAKARTA, Pewartasatu.com — Partai Demokrat di bawah kepemimpinan AHY sarat dengan kisruh dan gejolak di seantero tanah air.
Apakah kekisruhan itu sengaja diciptakan ? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Sebab apa yang dilakukan AHY dan kelompoknya didasarkan pada AD/ART dan turunannya berupa Peraturan Organisasi.
Lantas mengapa terjadi kekisruhan pasca Musda di beberapa provinsi ? Hal itu menjadi pertanyaan masyarakat luas. Mengapa hal itu terjadi pasca Musda Demokrat di beberapa daerah.
Pemerhati Politik Emha Hussein AlPhatani dalam keterangannya kepada Pewartasatu.com menyebutkan, apa yang dilakukan oleh AHY dan kelompoknya adalah suatu keharusan karena mereka sudah tersandera oleh peraturan tertinggi yang ada di partainya.
Tersandera ? ya, karena, AD/ART Demokrat dibuat di luar ajang kongres 2020 sehingga tidak satupun kader mengetahui isinya yang patut diduga bertentangan dengan azas demokrasi yang sejak awal disandang oleh partai ini.
“Seandainya para kader itu mengetahui isi AD/ART tentunya mereka akan memihak kepada kelompok senior dan pendiri yang menghendaki demokrat menjadi partai yang menjunjung tinggi demokrasi,” pungkas Emha.
Anak Bau Kencur Bermain Politik
Dari Jawa Barat, Tokoh Senior Partai Demokrat yang pernah menjabat sebagai Komisi Pengawas DPD Fraksi Demokrat Jawa Barat, Yan Rizal Usman angkat bicara.
Menurutnya polemik itu berawal dari keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) terkait hasil Musyawarah Daerah (Musda) di beberapa daerah yang menuai kekecewaan dari kader partai berlambang Bintang Mercy itu.
Ia mengatakan demokrasi di internal partai Demokrat itu sudah mati dan hanya dikuasai oleh ketua umum partai dan kroninya.
Ia mengatakan, Kongres Luar Biasa (KLB) yang pernah di gelar di Deli Serdang, Sumatera Utara tahun lalu itu adalah untuk mengembalikan marwah partai Demokrat yang sejatinya sudah kehilangan azas demokrasi.
“Kami sudah membaca bahwa partai Demokrat jika dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maka partai ini akan hancur, dan kahancuran itu sudah mulai terlihat saat ini dimana demokrasi di dalam partai itu dirampas dan sudah tidak ada lagi,” kata Yan Rizal.
Menurut kang Caca sapaan akrab Yan Rizal, Ada beberapa poin dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai Demokrat saat ini yang menyesatkan kader.
Pertama, menghilangkan 98 nama pendiri partai Demokrat. Hal itu sudah jelas dicuri oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengaku sebagai pendiri, tetapi pada kenyataannya dia bukan pendiri partai Demokrat.
“Dia bukan siapa-siapa pada saat masuk di Demokrat pada tahun 2003,” ujar Kang Caca.
Kedua, di dalam AD/ART, lanjut Caca, bahwa dalam Musyawarah Daerah (Musda) ataupun Muscab (Musyawarah Cabang) itu sistemnya apabila mendapatkan dukungan dari DPC misalnya kalau Musda, 20 persen dari DPC akan dibawa ke DPP dan ditentukan juga oleh DPP.
“Jadi bukan banyak tidaknya dukungan DPC, tapi persoalannya bagaimana hasil pra partai DPP. Ini sama saja bohong. Hak DPC sudah diambil dalam Musda oleh DPP. Hal itu akan terjadi pada Muscab dimana hak PAC akan diambil oleh DPP, “tambahnya.
Caca menilai, Saat ini dukungan dari DPC ataupun PAC sudah tidak berarti, karena semua haknya sudah diambil.
Iapun menyebutkan, akan lebih gila lagi jika Mahkamah Partai sifatnya rekomendasi, padahal mahkamah partai harus mempunyai keputusan final dan mengikat.
Bahkan, jika sesuai dengan Undang-Undang partai politik, Mahkamah Partai itu bisa memecat ketua umum partai.
“Demokrat dibawah pimpinan AHY justru berbeda, dimana rekomendasi diserahkan hanya kepada ketua umum dan majelis tinggi,” ucapnya.
Artinya, sudah tidak ada lagi ruang bagi kader DPD, DPC dan PAC untuk berdemokrasi karena semua keputusan diambil oleh DPP dengan beralasan agar tidak terjadi money politik, sambungnya.
Lebih lanjut, Caca menerangkan, sudah terbukti bahwa money politik di bawah pimpinan AHY sangat jelas dihitung bagaimana setoran ke DPP.
“Kalau setorannya besar ke DPP sudah jelas dan pasti itu yang menang. Bohong dalam politik jika ada namanya makan siang gratis, apalagi untuk menduduki satu jabatan yang strategis dipartai politik, jadi itu alasan yang paling bodoh dengan mengatakan mencegah terjadinya money politik, jelas tidak masuk akal,” cetusnya.
Caca menyebutkan, SBY dan AHY ingin bergaya seperti Nasdem dan Gerindra tapi ternyata Demokrat dibawah pimpinan SBY dan AHY hanya malah malu-malu kucing.
“Gimana gak malu-malu kucing SBY bukan pendiri partai dan partai Demokrat juga didirikan bukan dengan uang milik SBY,” sindirnya.
Untuk berbagai kekisruhan ini, Caca menyayangkan kader yang tdak bisa berbuat apa-apa.
Mau protes apapun percuma, katanya. Kalau pun protes melalui Mahkamah Partai juga bisa saja, tetapi jika bunyi putusan dari mahkamah partai itu menyatakan tidak salah maka kalian akan selesai karena kalian sudah di berangus, tegas Caca.
Oleh sebab itu, kader PD di daerah terima saja jika kenyataannya sekarang ini DPD, DPC dan PAC sudah tidak bisa protes karena semua keputusan diambil oleh DPP.
Caca menilai, AHY ingin membuang para pendiri-pendiri partai Demokrat, karena pada dasarnya AHY bukan siapa-siapa di Demokrat.
“Saya kasihan sama AHY, ini anak bau kencur main dipolitik yang dimanfaatin oleh sekelilingnya,” cetus dia.
AHY Sebaiknya Mundur
Dari Riau dikabarkan, mantan politisi partai Demokrat Kamaruzaman, mengatakan Partai Demokrat yang dipimpin AHY sekarang ini tidak bisa dikelola dengan maksimal.
Dalam tanda petik kebijakan yang dibuat tidak mengikuti aturan-aturan partai Demokrat.
Makanya, kata Kamaruzaman, pasca Kongres di Jakarta pada tahun 2020, dilanjutkan dengan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang (Sumatera Utara) pada Maret 2021.
Ini merupakan bentuk protes yang dilakukan para politisi senior PD yang menilai hasil kongres 2020 tidak sah/cacat hukum.
“Menurut saya wajar dalam organisasi itu memunculkan silang pendapat. Apalagi setelah AHY didaulat menjadi Ketum Demokrat, roda organisasi tidak jalan.”
Hal ini disebabkan penempatan orang yang tak tepat. Yang berpengalaman dibuang, diganti dengan orang yang tak paham berorganisasi.
Ini yang kita sayangkan. Tokoh-tokoh PD yang dulu bertungkus lumus membesarkan PD tidak dihargai, bahkan ‘ditendang’ ke luar ring, katanya.
Ini salah satu pemicu munculnya KLB beberapa waktu lalu. Sayangnya, hasil kongres ini dimentahkan Kemenkumham yang keukeuh mensahkan kongres PD 2020, terang Kamaruzaman.
Tak salah kalau sampai hari ini gejolak di PD terus terjadi. Tidak hanya ditingkat pusat, gejolak itu sudah merambah kepengurusan di daerah-daerah provinsi.
Dari catatan Kamaruzaman, 90 persen pelaksanaan Musda di Provinsi terjadi gejolak. Sebut saja Musda di provinsi Riau yang mendaulat Agung Nugroho menjadi ketua Demokrat menggantikan Asri Auzar. Sempat terjadi bentrok antar kedua belah pihak. Bahkan, kubu Asri Auzar menyatakan keluar dari Demokrat.
Di Sulawesi Selatan juga begitu. Kerusuhan terjadi pasca musda. Termasuk di Jawa Timur dan daerah lainnya.
Kamaruzaman menuding, pangkal masalah ini berasal dari AHY selaku pimpinan tertinggi PD. Dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua partai kerap melanggar AD/ART organisasi.
Sebab, kata Kamaruzaman, berhasil atau tidak pelaksanaan Musda menjadi cerminan kinerja ketua partai. Jika sukses, maka dinilai sebagai keberhasilan partai. Sebaliknya, jika banyak musda yang ricuh, maka ini menjadi kemunduran partai.
Kalau hiruk pikuk di tubuh partai Demokrat ini tidak cepat diatasi dengan solusi yang tepat, maka partai ini akan tenggelam.
Apalagi banyak tokoh-tokoh yang dulu berjuang membesarkan partai ini, dibuang dan banyak yang sudah lompat panggar.
“Tak usah jauh-jauh lah. Di provinsi Riau gerakan menjatuhkan tokoh senior juga dilakukan. Kurang apa Asri Auzar membesarkan partai ini? 17 persen suara pada pemilu lalu berhasil didapatkan PD. Orang seperti ini yang justru dibuang dan dikudeta.”
Kalau ingin PD ini besar, kata Kamaruzaman, AHY selaku pimpinan partai mesti berpikir ulang. “Kalau tak mampu memimpin partai, mundur saja. Serahkan partai ini kepada mereka yang mampu,” pungkasnya. (jimas)