Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar. (Foto: Humas)
JAKARTA, Pewartasatu.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyesalkan terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk sodomi yang diduga dilakukan oleh seorang pengasuh Panti Asuhan inisial SM (63) terhadap seorang anak asuhnya laki-laki inisial NF (12) di Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Kasus ini perlu mendapatkan penanganan serius dan memberikan sanksi hukum berat kepada pelaku sesuai dengan Undang-Undang (UU) yang berlaku.
“Perbuatan terduga pelaku yang seorang pengasuh Panti Asuhan sangat tercela. Terduga pelaku dipercaya mengasuh anak-anak laki-laki agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.”
“Nyatanya merusak kepercayaan itu dengan perbuatan kejinya melakukan sodomi,” tegas Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar pada Sabtu (4/6).
Nahar menegaskan kasus ini menjadi perhatian serius KemenPPPA untuk memastikan korban anak mendapatkan pendampingan hukum dan psikis.
KemenPPPA melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) untuk melakukan penjangkauan terhadap korban, dan membantu memulihkan mental dan trauma korban atas peristiwa yang dialaminya.
Nahar mengatakan terduga pelaku telah melakukan perbuatan kejinya, sodomi dan mempertontonkan film porno lewat ponsel kepada anak asuhnya sejak 2019 – 2022 selama di Panti Asuhan, yang juga sekaligus taman pengajian.
Kasus ini akhirnya terungkap karena korban anak berani memberontak dan melaporkan perbuatan pelaku kepada salah seorang kerabatnya.
“Saat ini ada satu korban anak yang melapor. Apabila masih ada korban anak asuh lainnya di Panti Asuhan tersebut, kami harapkan untuk berani bicara dan melapor,” kata Nahar.
Polres Bitung bertindak cepat menangkap terduga pelaku, dan juga telah melakukan visum et repertum terhadap korban anak serta menyita barang bukti ponsel.
“Kemen PPPA akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, mulai dari proses hukum hingga reintegrasi sosial korban ke lingkungan masyarakat.”
“Proses pemulihan korban sangat perlu dan menjadi perhatian serius kami dan mendesak hukuman tegas terhadap pelaku atas tindakan kejahatannya,” tegas Nahar.
Nahar mendesak lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama, atau lembaga pengasuhan wajib melakukan pencegahan dan pengawasan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual.
Masyarakat dan instansi yang berwenang diharapkan turut melakukan pengawasan, serta orang tua juga diharapkan tidak melepaskan anak sepenuhnya dalam pengawasan pendidik, namun bertanggung jawab memberikan perhatian dan memantau perkembangan anak.
Pelaku diduga melanggar Pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014 dan dengan ancaman hukuman sesuai Pasal 82 ayat 1, 2, 5, 6 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU jo. Pasal 64 KUHP, dengan ancaman hukuman paling lama 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 5 miliar.
Korban kekerasan seksual berhak mendapatkan ganti rugi dalam bentuk restitusi dari pelaku sesuai UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Yang peniaiainnya dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terkait dengan kerugian atas penderitaan yang berkaitan langsung, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau kerugian lain yang diderita korban akibat kekerasan seksual (Pasal 30).
Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku sebagai jaminan restitusi dengan izin pengadilan negeri setempat, dengan memperhatikan hak pihak ketiga yang beritikad baik (Pasal 31).
Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi untuk biaya restitusi, maka terpidana dikenai pidana penjara pengganti yang tidak melebihi ancaman pidana.
“Pokoknya (Pasal 33 ayat 7) dan negara dapat memberikan kompensasi sejumlah restitusi yang kurang dibayar oleh pelaku kepada korban, sesuai dengan putusan pengadilan (Pasal 35 ayat 1).
‘Di samping itu, ditambah lagi pidana tambahan berupa pengumuman identitas, tindakan rehabilitasi, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik, setelah terpidana selesai menjalani hukuman penjaranya paling lama 20 tahun,” pungkasnya.(**)