Momen setahun lalu, Presiden Jokowi bersama Prabowo. (Foto: Ist)
Oleh: Saiful Huda Ems.
Sebagai salah seorang warga negara dan yang pernah aktif dalam Pergerakan Reformasi ’98, terus terang saya merasa tertantang untuk terus memburu dalang penghianatan dan penghancuran Demokrasi di Indonesia saat ini, yakni Jokowi yang tak lain dan tak bukan merupakan penjelmaan dari Machiaveli kontemporer.
Ia merupakan satu-satunya pemimpin rezim yang dengan brutalnya menghancur leburkan sistem ketatanegaraan, dan dengan tanpa sedikitpun rasa bersalah tega menarik kembali keluarga besar Soeharto yang dahulu kami lawan habis-habisan selama bertahun-tahun, untuk kembali menguasai negara.
Dalam pikiran kami, jika Jokowi tak pernah sekalipun berkeringat untuk melawan Sentralisme, Militerisme dan Otoriterianisme Orde Baru (ORBA) yang mengorbankan banyak nyawa dan harta benda di masa-masa jauh sebelum dan di era Reformasi ’98, mbok yaho jangan malah menginjak-nginjak hasil jerih payah perjuangan kami dahulu itu dengan penghianatannya pada cita-cita Reformasi.
Taktik akal bulus Jokowi untuk merekayasa kemenangan Prabowo-Gibran di PILPRES 2024, sangatlah terang benderang untuk disaksikan. Mulai dari taktik penguasaannya pada lembaga-lembaga survei papan atas dan mendanainya secara besar, serta pengkondisian Keputusan MK No.90/2023, sampai pada pemaksaan aparatur negara, kepala-kepala dinas, kepala-kepala desa dll.nya untuk mau mendukung dan memenangkan Prabowo-Gibran.
Apa yang dilakukan oleh Jokowi itu merupakan realisasi sempurna dari teori politik kekuasaan Machiaveli yang menghalalkan segala cara, dan menjauhkan politik dari hati nurani manusia. Ia tak lagi memandang perjuangan politik sebagai suatu kehormatan, perjuangan suci, dimana keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dijunjung tinggi, melainkan yang ada baginya hanyalah kemenangan untuk langgengnya kekuasaan itu sendiri.
Maka kita bisa melihat bagaimana sombong dan angkuhnya Jokowi, ketika dari mobilnya ia melempar-lemparkan kaos, buku dll. di hadapan rakyatnya yang berdiri di tepi jalan, dan rakyat itu berlari-larian rebutan, sampai terjatuh untuk mengambil kaos atau barang-barang yang dilempar Sang Machiavelis dari mobilnya itu. Apakah derajat rakyat serendah itu dalam pandangan Jokowi, hingga rakyat harus ia perlakukan secara hina?.
Akal bulus dan keangkuhan Jokowi juga bisa kita lihat saat ia menggelembungkan anggaran untuk Bansos 2023 dan 2024 yang melebihi anggaran Bansos ketika Indonesia dihantam badai Covid-19, lalu Bansos yang berupa beras, minyak goreng dll.nya itu ia bagi-bagikan sendiri tanpa melibatkan Mensos Ibu Risma. Dan jikapun melibatkan kementerian lainnya, yang ia libatkan justru menteri-menteri yang sekubu dengan Prabowo-Gibran, yakni Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Hasil dari semua tingkah laku norak, jorok dan brutal Machiaveli Van Java itu kemudian adalah hasil PILPRES dapat diketahui sebelum waktunya, dan ketika PILPRES tiba hasil perolehan suara Paslon Capres yang didukungnya malah “menggila”, naik drastis yang membuat team sukses kemenangannya sendiri terheran-heran nyaris tak percaya.
Orkestrasi hasil perhitungan cepat (quick count) lembaga-lembaga survei papan atas kemudian menjadi seirama, menggiring dan memaksa tim sukses pemenangan Paslon 01 dan 03 untuk mau menerimanya, sedangkan KPU dan BAWASLU sendiri menyatakan penghitungan suara hasil PILPRES masih banyak kekeliruan. Tak cukup sampai disitu, Prabowo-Gibran juga langsung secepat kilat melakukan pesta pernyataan kemenangan, dan para tokoh-tokoh politik nasional dikondisikan untuk memberikan ucapan selamat atas kemenangannya. Gila…
Inilah PILPRES terburuk dan terbrutal sepanjang sejarah PILPRES/PILEG di Indonesia, dimana Machiaveli Van Java berdiri terdepan menjadi dirigen/conductor orkestra kecurangan PILPRES dan pembantaian Demokrasi yang kasat mata. Pekik perlawanan terhadap Rezim ORBA di masa Reformasi ’98 yang menolak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) terngiang di telinga, lalu mengapa KKN itu kini dihidupkan Rezim Jokowi kembali?…(SHE).
19 Februari 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Aktivis ’98.