Oleh : Aswan Bayan, Pemred Pewartasatu.com
MANAJEMEN konflik mungkin ungkapan yang paling mendekati kebenaran. Sejak presiden Joko Widodo menjadi presiden RI, Indonesia hampir setiap saat dilanda berbagai macam isu panas ditengah masyarakat.
Entah siapa yang memainkan menajemen konflik itu hanya mereka yang faham tapi yang pasti efek dari permainan manajemen konflik itu sangat terasa ditengah kehidupan masyarakat Indonesia.
Isu komunis, islam radikal, intoleran, tidak pancasilais, tidak kebhinekaan dan masih banyak isu yang membuat bangsa ini seakan memiliki problem sosial yang sangat besar. Isu sara adalah yang paling empuk bagi mereka yang memainkan manajemen konflik.
Di penghujung bulan februari , isu yang paling kontroversial adalah edaran Menteri Agama yang mengatur pengeras suara di masjid dan menganalogikan suara azan dengan gonggongan suara anjing.
Pernyataan kontroversial seorang menteri agama yang notabene seorang muslim dan anak kiyai besar yang punya pesantren membuat umat islam di semua daerah di tanah air bereaksi keras.
Berbagai reaksi dari umat islam bermunculan. Tokoh islam sumatra barat mengharamkan Menag Yaqut datang ke tanah minang, organisasi betawi menyeruduk kantor Kementerian Agama di Jalan Banten, pernyataan keras dari berbagai Ormas Islam dan tokoh islam meminta Menag dicopot dari jabatannya.
Media sosial dihiasi dengan pernyataan panas terutama umat islam terhadap menag. Berbagai tudingan miring diarahkan kepada menag. Keadaan bangsa seolah ada konflik yang tidak berkesudahan. Lagi-lagi permainan manajemen konflik benar benar berhasil dimainkan.
Kegaduhan di masyarakat berangsur hilang muncul lagi kegaduhan baru, Menag membuat logo baru halal menggantikan logo halal dari MUI, menyusul seorang yang mengaku pendeta Saefudin ibrahim meminta Menag untuk menghapus 300 ayat Al-qur’an yang dianggapnya radikal, intoleran dan membenci orang berbeda agama. Suasana bangsa benar- benar semakin gaduh.
Pertanyaan besar kemudian apa kriteria orang yang intoleran, tidak pancasilais, tidak kebhinekaan, dan radikal. Saya tidak faham cara pandang orang yang menuduh orang lain radikal, intoleran, tidak kebhinekaan apa lagi tidak pancasilais.
Pemahaman saya label-label itu mestinya ditujukan kepada para koruptor uang negara, kepada perampok kekayaan alam indonesia, kepada mafia-mafia produsen.
Toleransi mereka rendah, pikiran dan hati nuraninya radikal, jiwanya tidak pancasila apalagi nilai kebhinekaan mereka sama sekali tidak punya sehingga harusnya yang perlu belajar pancasila, belajar defenisi radikal, belajar makna kebhinekaan dan intoleran adalah mereka jangan ajarin rakyat soal hal itu karena rakyat sangat patuh terhadap nilai nilai yang dimaksud tapi ajari para koruptor, perampok dan para mafia itu agar sadar bahwa bangsa ini bukan milik mereka tapi milik bangsa indonesa dari sabang sampai merauke.
Rakyat tidak masuk dalam kriteria yang diisukan para pemain menajemen konflik Rakyat tidak faham dengan isu yang dimaksud diatas. Rakyat hanya faham bagaimana nyaman hidup di negeri sendiri. Rakyat hanya butuh kebutuhan mereka tersedia.
Oleh karenanya diharapkan para pemain menajemen konflik mengakhiri permainan yang sudah dibaca terang benderang oleh rakyat dan kembali sadar bahwa bangsa ini adalah milik seluruh rakyat indonesia. (**)