Aktual Featured Opini

Membaca Antipati Publik Terhadap Geng Solo, Antara Dinasti Politik dan Harapan yang Dikhianati

Opa Achiem, Wartawan Senior.(Foto:Ist)

 

 

 

Oleh: Opa Achiem
Wartawan Senior

 

 

POPULARITAS Joko Widodo yang dulu begitu kokoh, kini tampak mengalami pelapukan yang serius.

Bukan hanya di kalangan oposisi, bahkan sebagian masyarakat yang dahulu mendukungnya dengan penuh harapan kini menunjukkan tanda-tanda kekecewaan dan bahkan antipati.

Fenomena ini patut dicermati secara lebih jernih: apa penyebab utama kemunduran sentimen positif terhadap keluarga Jokowi? Dan adakah jalan keluar untuk meredam ketidakpuasan yang terus membesar ini?

Dalam perjalanan politiknya, Jokowi dikenal sebagai sosok yang menembus dominasi elit.

Latar belakang sebagai pengusaha mebel dan Wali Kota Solo yang sederhana menjadi modal politik besar ketika ia memasuki kancah nasional. Namun, situasi berubah drastis dalam beberapa tahun terakhir.

Munculnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo, kemudian melesat menjadi calon Wakil Presiden dan akhirnya menjadi Wapres serta penunjukan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, memperkuat tuduhan bahwa keluarga Jokowi tengah membangun sebuah dinasti politik.

Langkah-langkah ini menimbulkan kesan bahwa jabatan-jabatan strategis diperoleh bukan melalui pertarungan ide dan kapasitas, melainkan hubungan darah dan privilese kekuasaan.

Kondisi ini menyinggung rasa keadilan publik. Demokrasi, yang semestinya bertumpu pada meritokrasi dan kesetaraan kesempatan, terasa dikangkangi oleh praktik politik keluarga.

Situasi semakin rumit ketika Pilpres 2024 diwarnai dengan berbagai kontroversi serius. Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden, yang berujung pada pencalonan Gibran, mempertegas persepsi publik bahwa keluarga Jokowi tidak segan-segan menggunakan jalur hukum demi memperpanjang pengaruh politik mereka.

Temuan pelanggaran etik berat oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, yang notabene adalah ipar Joko Widodo, memperparah luka demokrasi yang menganga.

Rakyat menyaksikan bagaimana prinsip netralitas hukum terdistorsi, dan kepercayaan terhadap sistem demokrasi pun mengalami erosi mendalam.

Tidak mengherankan jika banyak suara keras di ruang publik yang menuding bahwa transisi kekuasaan bukan lagi sebuah kontestasi sehat, melainkan upaya reproduksi kekuasaan keluarga.

Proyek-proyek infrastruktur besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, jalan tol, dan food estate, walau membawa sejumlah manfaat, dirasakan sebagian besar masyarakat sebagai bentuk pembangunan yang tidak merata.

Dalam waktu bersamaan, harga kebutuhan pokok merangsek naik, lapangan kerja formal sulit diakses, dan kesenjangan ekonomi tetap melebar.

Dalam perspektif publik, pembangunan tampak lebih berpihak kepada kalangan pemodal besar ketimbang rakyat kecil.

Sentimen ini diperparah oleh gaya komunikasi pemerintah yang lalu maupun sekarang yang kadang kurang empatik dalam menghadapi kritik dan kegelisahan masyarakat.

Perubahan citra Jokowi dari “wakil rakyat kecil” menjadi “penguasa yang mempertahankan kekuasaan keluarga” menciptakan rasa dikhianati.

Kekecewaan ini, yang awalnya bersifat pasif, kini berubah menjadi antipati aktif, penolakan, sinisme, bahkan kemarahan terbuka di berbagai platform media sosial dan ruang-ruang diskusi publik.

Bagi sebagian masyarakat, keluarga Jokowi bukan lagi simbol harapan, melainkan lambang kegagalan reformasi yang membiarkan praktik oligarki dan nepotisme tumbuh subur kembali.

Menghadapi situasi ini, keluarga Jokowi sepatutnya mengambil langkah-langkah strategis yang tidak bersifat kosmetik.

Kini, pilihan ada di tangan keluarga Jokowi.

Mempertahankan warisan politik dengan cara elegan, atau membiarkan antipati ini tumbuh menjadi catatan kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. (**)

Leave a Comment