Ilustrasi. Foto : Ist.
Oleh : Timboel Siregar Koordinator Advokasi BPJS Watch/Pengurus OPSI-KRPI
Sejak Februari 2022, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) telah memberikan manfaat kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hingga 29 Maret 2022, sudah ada 366 pekerja ter-PHK mendapatkan manfaat uang tunai di bulan pertama, dan dari jumlah itu, 59 orang sudah mendapatkan manfaat uang tunai di bulan kedua. Total biaya manfaat uang tunai yang sudah diserahkan ke pekerja ter-PHK sebesar Rp 722,9 juta.
Tak hanya manfaat uang tunai, 279 orang sudah melakukan asesmen kerja, 126 orang memanfaatkan konseling kerja, dan sembilan orang melakukan wawancara melamar pekerjaan. Program JKP wujud nyata kehadiran negara melindungi pekerja yang ter-PHK. Tentunya jumlah penerima manfaat sampai hari ini terus bertambah.
Program JKP diharapkan menjadi salah satu solusi bagi pekerja ter-PHK untuk tetap bisa membiayai kehidupannya, meningkatkan keterampilan kerja, dan mendapatkan akses informasi pasar kerja. Faktanya, saat ini pekerja yang ter-PHK tidak mudah mendapat kompensasi PHK, produktivitas angkatan kerja kita masih rendah, dan kebutuhan informasi lowongan kerja juga tinggi.
Bila Prof Imam Soepomo mengatakan PHK bagi buruh merupakan permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarganya (Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Jakarta, Djambatan, 1974), maka kehadiran JKP dapat menjawab persoalan tersebut.
Program JKP paling tidak mampu mengurangi persoalan pekerja yang mengalami PHK dan mendukung peningkatan keterampilan pekerja.
Salah satu isu perjuangan pekerja dan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) dalam perayaan Hari Buruh Internasional (May Day) setiap tahun adalah PHK dan peningkatan kualitas pekerja. Program JKP paling tidak mampu mengurangi persoalan pekerja yang mengalami PHK dan mendukung peningkatan keterampilan pekerja.
Program yang baik ini tentunya masih perlu perbaikan sehingga seluruh pekerja memiliki akses kepesertaan dan akses manfaat atas JKP.
Dari sisi regulasi, pekerja dengan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang jatuh tempo PKWT-nya dan pekerja yang mengundurkan diri tak memiliki akses manfaat, walaupun mereka sudah jadi peserta JKP.
Pasal 20 Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2021 yang tak memberikan manfaat JKP bagi pekerja ter-PHK karena alasan PKWT jatuh tempo atau mengundurkan diri bertentangan dengan Pasal 16 UU No 40/2004 tentang SJSN yang mengamanatkan setiap peserta berhak memperoleh manfaat program jaminan sosial yang diikuti.
Pekerja PKWT atau mengundurkan diri adalah peserta JKP karena mereka telah membayar iuran. Pasal 46C Ayat (1) UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja menyatakan peserta JKP adalah setiap orang yang telah membayar iuran.
Isi Pasal 20 PP No 37/2021 seharusnya mengacu ke Pasal 16 UU SJSN dan Pasal 46C Ayat (1) UU Cipta Kerja, karena kedudukan hukum PP di bawah UU, sehingga pekerja PKWT yang jatuh tempo atau mengundurkan diri berhak atas manfaat JKP.
Kepesertaan juga jadi masalah. Per akhir Februari 2022 jumlah peserta JKP sebanyak 10.497.170 pekerja, sementara jumlah pekerja formal tercatat 49.060.254 orang (Sakernas 2021).
Ini artinya masih banyak pekerja formal yang belum didaftarkan di seluruh program jaminan sosial, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun.
Ada pekerja penerima upah yang didaftarkan di JKN sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) atau peserta mandiri sehingga pekerja itu tak eligible sebagai peserta JKP.
Akibat upah tak dibayar, iuran jaminan sosial jadi tertunggak sehingga status kepesertaan di JKP jadi non–aktif.
Proses penyelesaian perselisihan PHK, yang diatur di UU No 2/2004, juga menjadi kendala bagi pekerja mendapat manfaat JKP. Pertama, selama proses PHK kerap kali pengusaha tak membayar upah pekerja, walau Pasal 157A UU Cipta Kerja mewajibkan pembayaran upah. Akibat upah tak dibayar, iuran jaminan sosial jadi tertunggak sehingga status kepesertaan di JKP jadi non–aktif.
Kedua, proses penyelesaian PHK bisa mencapai satu tahun lebih. Bila hakim memutuskan PHK tanggal mundur sejak dikeluarkannya surat PHK, maka pekerja tidak dapat JKP karena JKP dapat diklaim maksimal tiga bulan setelah PHK.
Harapan ke depan
Untuk memastikan tujuan hadirnya JKP, yaitu pekerja terPHK tetap memiliki derajat kehidupan yang layak, berjalan dengan baik, maka seharusnya JKP bisa diakses lebih banyak pekerja, baik akses kepesertaan maupun akses manfaat.
Agar lebih banyak pekerja mengakses manfaat JKP, Pasal 20 PP No 37/2021 seharusnya direvisi sehingga pekerja PKWT atau mengundurkan diri mendapatkan manfaat JKP. Alasan yuridisnya, isi PP tak boleh bertentangan dengan isi UU.
Alasan sosiologisnya, pascalahirnya UU Cipta Kerja jumlah pekerja PKWT semakin banyak karena Pasal 59 tentang PKWT dan Pasal 66 tentang Alih Daya di UU Cipta Kerja lebih fleksibel. Demikian juga pada praktiknya pekerja yang akan di-PHK umumnya diminta mengundurkan diri agar proses PHK lebih cepat dan murah.
Hadirnya Inpres No 2/2021 tentang Optimalisasi Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Inpres No 1/2022 tentang Optimalisasi Program JKN, salah satunya, untuk meningkatkan kepesertaan pekerja formal di program jaminan sosial sehingga pekerja yang eligible di JKP akan lebih banyak lagi. Kedua inpres ini harus menjadi fokus kementerian/lembaga yang diinstruksikan dan Presiden harus terus mengevaluasi pelaksanaannya.
Ketentuan tentang iuran tertunggak dan tenggat klaim JKP juga harus disesuaikan dengan kondisi riil sehingga pekerja ter-PHK tetap mendapat manfaat JKP..
Dan, dengan proses penyelesaian PHK yang cukup lama dan rendahnya kepatuhan pengusaha menjalankan Pasal 157A, sudah saatnya pemerintah merevisi UU No 2/2004 agar proses penyelesaian PHK lebih cepat dan sederhana. Pengawas Ketenagakerjaan harus proaktif mengawal pelaksanaan Pasal 157A.
Ke depan, program JKP harus bisa diakses pekerja migran Indonesia dan pekerja kemitraan yang tak bisa bekerja lagi. Mereka adalah warga negara yang juga membutuhkan JKP.