Jakarta, Pewartasatu – Ketua Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FAPSR, FISR menjelaskan bahwa menurut banyak studi yang telah dilakukan, potensi perokok terjangkit COVID-19 bisa dua sampai tiga kali lebih tinggi dari yang bukan perokok. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah reseptor ACE 2 atau tempat duduknya SARS-Cov-2 di saluran pernapasan para perokok lebih banyak dari non-perokok.
Agus juga menyatakan bahwa penyebab selanjutnya adalah asap rokok yang dihasilkan oleh perokok dapat menurunkan imunitas tubuh, terutama pada imunitas saluran pernapasan. Padahal diketahui bahwa sistem imunitas penting sekali dalam berperan menghambat terjadinya infeksi virus dan bakteri.
“Karena bahan-bahan yang ada di dalam asap rokok itu terbukti mengganggu proses migrasi berbagai sel-sel imunitas tubuh saat melawan infeksi itu sudah ada risetnya di beberapa jurnal sebelumnya, bahwa ketika seorang perokok, kemudian terjadi infeksi maka migrasi daripada sel-sel imunitas itu akan menurun dan fungsinya juga menurun akibatnya ketika terinfeksi akan terjadi kondisi yang lebih luas dan cenderung menjadi lebih berat termasuk pada COVID-19,” kata Agus di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Jakarta, Rabu (12/8).
Selain itu, Agus mengatakan penyebab lain adalah menyangkut komordibitas. Orang-orang yang memiliki penyakit komorbid seperti jantung, hipertensi, dan diabetes diketahui berpotensi lebih besar untuk terjangkit COVID-19. Merokok dapat meningkatkan potensi komorbid yang lebih banyak sehingga potensi tertular atau terinfeksi COVID-19 lebih besar.
“Jadi hampir penyakit-penyakit komorbid ini lebih banyak ditemukan pada seorang perokok, akibatnya tentu ketika seorang perokok memiliki komorbid akhirnya menimbulkan risiko terjangkit COVID-19. Jadi ada dampak secara tidak langsung dari rokok, komorbid kemudian COVID-19 itu sendiri,” jelas Agus.
Penyebab selanjutnya yang menyebabkan perokok dapat lebih mudah terjangkit COVID-19 adalah kebiasaan para perokok dalam memegang rokok secara berulang-ulang. Menurut Agus, kebiasaan ini menyebabkan transmisi virus ke dalam tubuh jauh lebih meningkat karena adanya inhalasi dari tangan ke saluran pernafasan.
Selanjutnya menyangkut mortalitas. Agus memaparkan bahwa mortalitas yang dimiliki oleh seorang perokok menempati presentasi yang cukup tinggi.
“Risiko terjadinya COVID-19 pada perokok berdasarkan literatur itu, mortalitasnya cukup tinggi. Jadi kalau perokok itu yang terkena COVID-19 dan meninggal, itu sekitar 25 persen. Sedangkan mortalitas umum di dunia sekitar lima persen atau kali lipat dari mortalitas dunia. Jadi perokok itu memang tinggi dalam meningkatkan risiko terjangkit COVID-19 yang berat sampai meninggal,” ujar Agus.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Forum Jogja Seh upat Tanpa Tembakau (JSTT) Prof. Dra. RA. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D. juga menekankan bahwa edukasi di berbagai media harus ditingkatkan guna menciptakan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok di tengah pandemi COVID-19.
“Pemberian edukasi, informasi, dan komunikasi di berbagai media harus ditingkatkan dalam rangka memacu kesadaran masyarakat atas dampak merokok dan penyebabnya bahayanya dari sisi penyebaran COVID-19,” kata Yayi.
Sebagai penutup, Yayi berpesan agar masyarakat menjalankan seluruh protokol kesehatan serta Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang di dalamnya juga ada imbauan untuk tidak merokok demi kesehatan bersama (**).