BEBERAPA Minggu terakhir kita terus dibayang-bayangi oleh hantu kebijakan terkait Subsidi BBM yang terus membengkak tak terkendali bagai bisul yang terus membesar di kepala serta bayang-bayang menakutkan bagi rakyat kecil akan kenaikan harga BBM dan tak mencukupinya kuota BBM Subsidi di APBN yang akan mengakibatkan jebolnya kuota BBM yang akan menjebol APBN.
Bahkan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia sempat melontarkan tentang kemungkinan kenaikan harga BBM ini meski pernyataan itu membuat kita tentu bertanya menagapa Kepala BKPM yang menggulirkan dan bukan Menteri ESDM yang seharusnya membawahi soal BBM.
Terbaru Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan bahwa kemungkinan dalam waktu dekat Presiden Jokowi akan mengumumkan kenaikan harga BBM Subsidi.
Duarrrrrr…! Tentu hal ini mengagetkan dan membuat jantung rakyat kecil berdetak makin kencang karena terpikir dampak dari kenaikan ini adalah kenaikan harga-harga barang di pasar. Harga naik, inflasi naik, kecemasan rakyat bertambah, pengetatan ikat pinggang harus dilakukan. Padahal rakyat baru saja mulai bangkit dari keterpurukan akibat covid yang menyerang tiba-tiba.
Benarkah menaikkan harga jual BBM Subsidi ini hanya satu-satunya solusi untuk mengendalikan subsidi yang ratusan Trilliun rupiah itu? Apakah memang tidak ada jalan lain selain menaikkan harga jual BBM? Berapa harga kenaikan yang akan diumumkan? Apakah masih dalam batas toleransi kemampuan pendapatan rakyat?
Bagi saya kebijakan menaikkan harga ini bukanlah solusi untuk rakyat tapi hanya solusi untuk pejabat pemerintah. Subsidi harus dikurangi dengan memindahkan beban APBN itu menjadi beban rakyat yang pendapatannya belum naik, sementara pendapatan negara terlihat naik bahkan APBN Surplus saat ini. Mengapa surplus APBN itu tak digunakan sementara untuk menambal subsidi dan dalam waktu bersamaan pemerintah mempersiapkan kebijakan pengurangan subsidi pada APBN 2023.
Dalam pengamatan dan analisis, memang penyaluran subsidi ini salah sasaran. Tidak tepat tujuan karena yang menikmati adalah justru kalangan mampu terutama pemilik usaha-usaha besar yang menggunakan kendaraan operasional dalam jumlah banyak dibanding rakyat pemilik mobil pribadi apalagi rakyat kecil yang tak punya motor ataupun mobil. Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi pembengkakan subsidi yang terbakar tidak tepat sasaran tersebut?
Menaikkan harga jual BBM Subsidi tentu bukan solusi untuk rakyat tapi hanya sekedar solusi untuk pemerintah, solusi untuk jabatan para pejabat yang gagal menciptakan sistem penyaluran subsidi secara benar dan tepat.
Puluhan tahun subsidi ini menggunakan sistem yang salah, puluhan tahun menggunakan sistem yang memanjakan kalangan mampu, padahal subsidi harusnya untuk kalangan tidak mampu. Meskipun boleh saja pemerintah mensubsidi seluruh rakyatnya tanpa terkecuali apabila ABPN memang mampu melakukan itu. Menaikkan harga jual BBM adalah kebijakan jalan pintas yang tak mau merepotkan pejabat untuk berpikir dan bekerja.
Masalah APBN selesai tak terbebani subsidi, dan memindahkan masalah itu ke bahu rakyat yang masih terbeban dengan segala beban hidup pasca pandemi covid yang mematikan meski pandemi belum kunjung berlalu. Pemerintah seharusnya tak berpikir pendek mengambil jalan pintas.
Jangan melihat kebangkitan ekonomi saat ini telah mampu diberi beban lebih. Dampak krisi global masih menghantui akibat perang Rusia Ukranina dan ancaman potensi pecahnya perang di Asia antara Cina dan Taiwan serta kelaparan dan kemiskinan yang melanda beberapa negara. Ini semua harus diwaspadai akan membawa beban lebih berat dipundak rakyat yang tak bisa menikmati fasilitas seperti para pejabat menikmati fasilitas dari APBN.
Dalam hal ini, adalah baik bila untuk 2022 pemerintah tetap mempertahankan subsidi dan menambah kuota serta kompensasinya dari surplus APBN sembari mempersiapkan sitem yang tepat sasaran bagi pemyaluran subsidi. Jangan sampai subsidi dinikmati oleh pengusaha, kalangan mampu, tapi rakyat tak menikmati sepatutnya.
Pola atau Sistem
Penyaluran subsidi harus diganti dengan pola tertutup. Subsidi harus disalurkan ke orang bukan ke produk. Atau bila harus mensubsidi produk, maka pembatasan ketat harus dilakukan dilapangan terkait siapa yang berhak menikmati subsidi yang berkeadilan subsidi produk bisa saja dilakukan dengan pola membangun alat a yang berbeda melalui penentuan jenis kendaraan. Memang ini akan menambah sedikit pekerjaan bagi Pertamina untuk membenahi SPBU atau menambah alat di SPBU.
Meski kebijakan pembatasan dan pengetatan ini tentu tidak akan 100% menyelesaikan masalah tapi akan bisa mengurangi besaran subsidi tak tepat sasaran. Kebijakan permanen dan solusi 100% hanya satu, yaitu mensubsidi orangnya dan bukan produknya.
Apakah pemerintah akan berani melakukan hal tersebut mengingat besarnya dampak politik dari harga BBM ini? Mungkin secara politik pemerintah tak akan berani karena tahum politik 2024 sudah didepan mata dan berpotensi menggerus dukungan politik bagi partai pemerintah. Dilema besar bagi siapa saja yang akan duduk sebagi presiden.
Tapi apakah karena dilema politik lantas kita membiarkan kesalahan ini terus bergulir? Terlalu berani kita sebagai sebuah bangsa yang mana statistik utang negara terus meningkat tapi membiarkan subsidi ditelan kalangan mampu.
Kembali kepada topik opini ini, apakah rencana menaikkan harga BBM adalah solusi bagi masalah rakyat? Jawaban saya tentu tidak.
Ini hanya solusi untuk pejabat pemerintah, maka sebaiknya rakyat menolak rencana ini. Saya menolak rencana kenaikan BBM harga subsidi ini meski saya bukan pengguna BBM Subsidi.
Tapi memindahkan beban ini ke bahu rakyat disaat mulai bangkit adalah beban yang akan membunuh kebangkitan itu sendiri. Apakah thema HUT RI Bangkit lebih cepat itu hanya akan jadi celotehan semata atau kita memang akan bangkit sesungguhnya?
Thema itu hanya akan indah diucapkan karena menaikkan harga BBM Subsidi ini akan membunuh kebangkitan rakyat dan membuat rakyat terpuruk kembali. Saya berharap agar Presiden Jokowi membatalkan rencana menaikkan harga BBM ini dan mencari solusi lain menanggulangi subsidi BBM ini.
Oleh: Ferdinand Hutahaean, Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia