JAKARTA, Pewartasatu.com – Nasib Pailit PT Meratus Line ditentukan pada pekan depan. Sebab, sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Meratus Line dengan pemohon PT Bahana Line dan PT Bahana Ocean Line ditunda hingga 18 November mendatang untuk putusan dari Majelis Hakim Pemutus atas laporan Hakim Pengawas dan Pengurus PKPU.
‘Saya belum dapat memberikan putusan karena masih harus bermusyawarah lebih dulu dengan hakim anggota lainnya. Saya juga baru menerima berkas dari hakim pengawas sehari sebelumnya. Jadi keputusan ditunda dulu sampai 18 November 2022,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Niaga Surabaya Gunawan Tri Budiono pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jumat (11/11/2022).
Pada kesempatan yang sama, Hakim Gunawan juga sempat menyentil debitur yakni pihak PT Meratus Line yang disebutnya tidak mau membayar honorarium pengurus karena belum adanya kesepakatan angka yang harus dibayarkan.
Sentilan ini dibenarkan oleh salah satu kuasa hukum PT Meratus line, yang menyebutkan bahwa pihaknya telah menyiapkan cek kosong yang sudah ditandatangani oleh pemilik cek.
Selain menyentil soal uang pembayaran pengurus, hakim juga sempat mempertanyakan pada Pengurus PKPU-Tetap mengenai laporannya. Hakim Gunawan bertanya apakah pengurus melaporkan PT Meratus Line beritikad buruk dalam proses PKPU ini.
Pertanyaan itu dijawab oleh pengurus, yang mengakui jika dalam masalah pengelolaan harta pihak debitur tersebut ada kendala-kendala tertentu dan tidak pernah dilibatkan.
Bisa Jadi Preseden Buruk
Sementara Kuasa Hukum PT Bahana Line dan PT Bahana Ocean Line Syaiful Ma’arif mengatakan, jika putusan Pengadilan Niaga lewat mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan Pailit harus menunggu putusan perdata seperti yang diusulkan PT Meratus Line maka hal akan menjadi preseden buruk atau tujuan hadirnya Pengadilan Niaga.
“Padahal, tujuan Pengadilan Niaga dan mekanisme PKPU adalah untuk bisa mempercepat penyelesaian utang piutang sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi negara agar bisa sehat,” kata Syaiful.
Menurutnya, usulan perdamaian yang diajukan debitur PT Meratus Line yang juga baru bersedia membayar utang jika putusan perdata sudah inkracht dengan isi putusan sesuai kehendaknya sangat melecehkan eksistensi dan tujuan hadirnya mekanisme PKPU di Pengadilan Niaga.
“Ini sama saja dengan menciderai proses hukum yang disiapkan negara khusus penyelesaian utang piutang. Ini preseden buruk bagi pengembangan hukum di Indonesia,” cetusnya.
Lebih jauh Syaiful mengatakan, bahwa
yang baru terlihat di ujung PKPU ini adalah kesadaran pengakuan akan utang PT Meratus Line kepada PT Bahana Line dan PT Bahana Ocean Line. Padahal sebelumnya mereka selalu berkilah dengan berbagai alasan.
“Di ujung baru mengakui, hanya saja tidak mau bayar dengan alasan masih ada kasus perdata. Padahal adanya kasus perdata itu juga karena ulahnya menjadi penggugat. Itu bukti nyata itikad buruknya. Saya yakin Hakim Pemutus bisa melihat fakta nyata ini,” katanya seraya menambahkan bahwa sebenarnya niat tidak mau bayar ke Pemohon PKPU tetap ada hanya dikemas bentuk lain.
“Jika benar perdamaian menjadi keinginannya, seharusnya dibayar dong utangnya yang telah diakui tanpa membuat syarat-syarat di luar putusan Pengadilan Niaga. Katanya liquid dan ber itikad baik? Semua orang juga tahu yang namanya itikad baik itu punya utang ya bayar bukan berkelit,” pungkas Syaiful.
Sementara rekan satu timnya, Gede Pasek Suardika (GPS) menilai, putusan Majelis Hakim yang mentunda putusan pada 18 November mendatang dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menetapkan voting perdamaian atau pengakhiran PKPU yang artinya pailit. “Tapi posisi ke arah pailit itu paling kuat karena Meratus di PKPU justru mempersulit cara pembayaran utangnya kepada kreditur pemohon PT Bahana Line dan PT Bahana Ocean Line,” ujarnya.
GPS juga kembali menyoal adanya kreditur afiliasi dengan PT Meratus yang menurutnya menjadi bukti nyata adanya persengkongkolan dan bukti itikad buruk karena targetnya hanya untuk mengejar hak suara voting.
“Ini berbeda dengan Bahana Line dan Bahana Ocean Line yang sama-sama berada di posisi kreditur. Sedangkan delapan kreditur yang kita masalahkan itu kepemilikannya sama dengan Debitur PT Meratus Line. Jadi posisi Debitur dan Kreditur sama persis pemiliknya. Inilah persekongkolan yang kami maksud, karena targetnya hanya untuk mengejar hak suara voting saja,” pungkasnya.(**)