Blangkon solo//Foto: shopee.co.id
Oleh Ramly Amin
JUDUL di atas boleh ditafsirkan secara bebas. Problem Gibran bisa berarti masalah yang dihadapi Gibran Rakabuming. Bisa juga problem yang muncul atau dimunculkan yang dihadapi bangsa Indonesia akibat putra sulung Presiden yang kita hormati Joko Widodo (Jokowi) itu menjadi Wapres.
Kalimat pertama yang meluncur dari bibir Gibran begitu dia disepakati sebagai bakal cawapres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) kira-kira begini: “Tenang saja Pak Prabowo, tenang aja. Saya sudah ada di sini.”
Ucapan itu disampaikan Gibran di depan para relawan dan pendukungnya, serta para ketua umum partai politik yang secara aklamasi menerima pencalonan Gibran, walau mereka harus menabrak putusan semula partai mereka masing-masing.
Banyak tafsir terkait penyataan putra sulung Jokowi ini. Orang bisa menyebut ucapan kaka kandung Kaesang ini biasa-biasa saja, apa adanya. Atau, ucapan itu sesuatu yang wajar diucapkan. Atau memang sudah demikian adanya, kan bapaknya presiden dan masih berkuasa…
Saya sendiri menafsirkan, ucapan Gibran itu menunjukkan betapa jumawanya dia. Apalagi seperti yang dinilai seorang analis militer Connie Rahakundini, kurang pantas disampaikan kepada Prabowo Subianto.
Prabowo itu seorang tokoh nasional yang sudah diketahui pengalamannya, sejak dari dunia militer, menjadi pengusaha, sampai menjadi politisi besar yang berkali-kali berani tampil bersaing untuk perebutan jabatan presiden. Siapa Gibran?
Secara pribadi, Gibran bukan siapa-siapa. Hanya anak muda yang baru dua tahun menjabat Walikota Surakarta. Dia menjadi walikota – meminjam pernyataan senior kita sesama jurnalis: Panda Nababan – berkat kebaikan hati Megawati dan PDI Perjuangan.
Sebagai makhluk politik Gibran memang belum apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tetapi, ucapan jumawa yang dia sampaikan kepada ketua umum sebuah partai besar itu, boleh jadi, menunjukkan keyakinan diri bahwa dia, di belakang dia, ada kekuatan besar yang siap melindas kekuatan mana pun yang menghalangi langkahnya untuk merebut kursi Presiden/Wapres bersama Prabowo 2024 mendatang.
Sayangnya, tokoh sekaliber Prabowo, politisi yang baru empat tahun lalu dipuja-puji puluhan juta rakyat yang menginginkan dia jadi presiden menggantikan Jokowi yang tak lagi dikehendaki, menyambut lenggang Gibran dengan tangan terbuka. Bersama banyak ketua umum Parpol, dia malah memberi privilege kepada Gibran melenggang di karpet merah yang telah dibentangkan Mahkamah Konstitusi.
Sesungguhnyalah, sejak saat itu, bahkan sejak perencanaan pencawapresannya, Gibran telah menebar seabrek benih benih masalah di negeri ini, negeri yang keadaan ekonominya sedang tidak baik-baik di mana presidennya sibuk dengan rencana dan gerakan politik.
Beberapa permasalahan setelah Gibran jadi cawapres antaranya, ketika rakyat menyaksikan omongan yang pernah dikemukakan Presiden dan Gibran sendiri tak sesuai kenyataan, tamparan bagi Megawati yang “ditantang” konsekwen atas ucapannya akan memecat kader yang bermain dua kaki, termasuk sikap tegas Megawati melihat apakah Jokowi masih petugas partai atau tidak.
Masalah yang mungkin muncul di internal seluruh partai setelah melihat ketua umumnya seperti “kebo dicocok hidungnya” menghantar putra Jokowi menjadi Cawapres.
Mungkin masih banyak problem lainnya yang muncul. Salah satu problem yang tak kalah beratnya adalah menyangkut legal reasoningnya Gibran menjadi cawapres. Masyarakat menuntut Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membatalkan Putusan MK No 90/ 2023 terkait persyaratan Capres/Cawapres yang diplesetkan menjadi Putusan Karpet Merah buat Gibran.
Tak mudah. MKMK dihadapkan pada buah simalakama. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sementara tugas MKMK hanya mengurusi perilaku (kode etik) para hakim.
Namun fakta-fakta di persidangan nyata-nyata menunjukkan terjadinya sejumlah penyimpangan dan pelanggaran, yang implikasinya, perasaan tidak puas rakyat di tengah banyaknya mereka yang tadinya pemuja Jokowi berbalik arah sudah tak percaya lagi pujaannya.
Tetapi, apapun putusan yang dijatuhkan MKMK Selasa ini (7/11- sesuai rencana), membatalkan atau tidak Putusan itu, masing-masing akan membawa implikasinya.
Implikasi yang ditakutan adalah , ketika MKMK tak menyentuh substansi Putusan MK No.90/2023 itu, , rakyat tak puas. Ketidakpuasan mengkristal, mengarah ke upaya pemakzulan Presiden. Dan ini hanyalah puncak dari problema Gibran. ( Ramly Amin; PWI No.09.00.3171.90)**