Jakarta, Pewartasatu.com
Terjadinya perilaku panic buying oleh konsumen dalam membeli minyak goreng satu harga, merupakan bentuk kesalahan strategi marketing pemerintah dalam membuat kebijakan publik, dan kegagalan pemerintah dalam membaca perlaku konsumen Indonesia.
Hal ini disampaikan Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam keterangannya kepada Pewartasatu.com di Jakarta, Senin (24/1/2022). “Dari sisi konsumen, perilaku panic buying juga merupakan fenomena yang anomali dan cenderung sikap yang egoistik, dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri,” kata dia.
“Pihak Aprindo bahkan menyatakan, bahwa stok minyak satu harga makin menipis. Seharusnya pemerintah membatasi pembelian, misalnya konsumen hanya boleh membeli 1 bungkus/satu liter saja,” lanjut Tulus.
Pihaknya menduga, intervensi pemerintah dalam harga minyak goreng tidak akan efektif, sebab salah strategi. “Tidak menukik pada hulu persoalan yang sebenarnya, yakni adanya dugaan praktik kartel di pasar minyak goreng,” ujarnya.
YLKI juga mendesak pemerintah untuk membuat DMO (Domestic Market Obligation) dan caping harga untuk kebutuhan CPO domestik dan kepentingan nasional. “Jangan sampai CPO yang kita hasilkan hanya untuk jor-joran kebutuhan ekspor, sedangkan kebutuhan dalam negeri berantakan,” tukasnya.
“Ironi dan paradoks jika konsumen minyak goreng Indonesia harus membeli dengan standar CPO internasional, karena kita negara penghasil CPO terbesar di dunia. Pemerintah jangan membuat kebijakan yang ecek-ecek, dengan subsidi Rp 3.5 Triliun. Kebijakan ini akan sia-sia karena tidak menukik pada pokok persoalannya,” tutup Tulus.(Arif)
Panic Buying Minyak Goreng, Dampak Kegagalan Strategi Marketing Pemerintah
Jakarta, Pewarta satu.com
Terjadinya perilaku panic buying oleh konsumen dalam membeli minyak goreng satu harga, merupakan bentuk kesalahan strategi marketing pemerintah dalam membuat kebijakan publik, dan kegagalan pemerintah dalam membaca perlaku konsumen Indonesia.
Hal ini disampaikan Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam keterangannya kepada Pewartasatu.com di Jakarta, Senin (24/1/2022). “Dari sisi konsumen, perilaku panic buying juga merupakan fenomena yang anomali dan cenderung sikap yang egoistik, dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri,” kata dia.
“Pihak Aprindo bahkan menyatakan, bahwa stok minyak satu harga makin menipis. Seharusnya pemerintah membatasi pembelian, misalnya konsumen hanya boleh membeli 1 bungkus/satu liter saja,” lanjut Tulus.
Pihaknya menduga, intervensi pemerintah dalam harga minyak goreng tidak akan efektif, sebab salah strategi. “Tidak menukik pada hulu persoalan yang sebenarnya, yakni adanya dugaan praktik kartel di pasar minyak goreng,” ujarnya.
YLKI juga mendesak pemerintah untuk membuat DMO (Domestic Market Obligation) dan caping harga untuk kebutuhan CPO domestik dan kepentingan nasional. “Jangan sampai CPO yang kita hasilkan hanya untuk jor-joran kebutuhan ekspor, sedangkan kebutuhan dalam negeri berantakan,” tukasnya.
“Ironi dan paradoks jika konsumen minyak goreng Indonesia harus membeli dengan standar CPO internasional, karena kita negara penghasil CPO terbesar di dunia. Pemerintah jangan membuat kebijakan yang ecek-ecek, dengan subsidi Rp 3.5 Triliun. Kebijakan ini akan sia-sia karena tidak menukik pada pokok persoalannya,” tutup Tulus.(Arif)