Partai Buruh Ajukan Permohonan Uji Formil UU Ciptaker ke MK

Koordinator Kuasa Hukum Pemohon Partai Buruh, Said Salahudin.//Foto: CNN

JAKARTA. Pewartasatu.com — Partai Buruh resmi menyerahkan Permohonan Uji Formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (3/5).

Koordinator Kuasa Hukum Pemohon Partai Buruh, Said Salahudin mengatakan secara administratif, permohonan uji formil ini telah didaftarkan Partai Buruh secara online ke MK pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2023.

Ia menyebut momen itu dipilih untuk membangun persepsi di kalangan buruh bahwa May Day adalah hari perlawanan terhadap UU Cipta Kerja.

Dalam permohonan itu, MK sudah memberikan tanda terima nomor 44/PAN.ONLINE/2023.

“Kami hari ini kuasa hukum partai buruh mengajukan pendaftaran fisik uji formil Undang-Undang Cipta Kerja. Ini adalah prosedur yang harus kami tempuh, pendaftaran secara fisik, walaupun pendaftaran awal sudah kami lakukan tepat pada May Day, 1 Mei 2023.”

” Karena May Day itu jatuhnya hari libur maka terpaksa harus pendaftarannya itu kita lakukan secara online. Tapi harus fisiknya diberikan maka kita baru menyerahkan pada hari ini fisiknya ke MK,” ujar Said di Gedung MK, Rabu (3/5).

Ia mengklaim pengajuan uji formil yang dilakukan pihaknya ini memiliki sejumlah perbedaan dengan permohonan yang telah diajukan pihak lain sebelumnya.

“Kami secara filosofis, teoritis, kaidah hukum kami membuatnya lebih spesifik, lebih terperinci dan komprehensif, dalil dan argumentasi kami juga tidak sama dengan beberapa pemohon sebelumnya yang sudah masuk ke MK,” kata dia.

Said menjelaskan setidaknya ada 5 alasan yang mendasari pihaknya mengajukan uji formil. Pertama, UU Cipta Kerja termasuk pada saat masih berstatus Perppu, jelas-jelas telah mengangkangi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang pada prinsipnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional.

Menurut Said, hal ini jelas pembangkangan konstitusi atau constitutional disobedience.

Kedua, penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai tidak mempunyai dasar dari sisi konstitusi. Sebab, dibuat dalam keadaan tidak memenuhi syarat kondisi mendesak yang telah ditetapkan standarnya oleh MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Lalu, materi muatan Perppu Cipta Kerja secara substansi juga dinilai sama saja dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Ketiga, pembentukan Perppu Cipta Kerja dan UU Cipta Kerja disebut tidak memenuhi syarat Partisipasi Masyarakat secara Bermakna atau Meaningful Participation. Said mengatakan tokoh-tokoh buruh dari konfederasi-konfederasi terbesar di Indonesia tidak pernah dimintai pendapat. Kalaupun ada, masukan-masukan mereka diabaikan oleh pemerintah dan DPR.

a bercerita Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal pernah diajak berbincang soal materi Perppu dan membuahkan kesepahaman-kesepahaman. Kendati demikian, Said mengatakan begitu Perppu itu terbit, tak ada lagi kepentingan buruh yang terakomodasi.

“Mereka undang pemimpin buruh hanya untuk menggugurkan kewajiban bahwa syarat partisipasi masyarakat sudah dipenuhi. Ini kan jahat sekali. Model partisipasi semu semacam itu jelas tidak sesuai dengan konsep Meaningful Participation,” jelas dia.

Keempat, UU Cipta Kerja disebut terbukti ditetapkan di luar jadwal konstitusional atau ditetapkan melampaui batas waktu.

Said menjelaskan Perppu Cipta Kerja diundangkan pada 30 Desember 2022. Sehingga apabila DPR hendak memberikan persetujuan dan menetapkan Perppu itu menjadi undang-undang, maka harus dilakukan dalam Rapat Paripurna masa sidang pertama pada 10-16 Januari 2023.

Namun, penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU, kata Said, justru baru dilakukan DPR pada Rapat Paripurna 21 Maret 2023.

“Jadi, kalau DPR bilang mereka sudah memberikan persetujuan terhadap Perppu Cipta Kerja pada masa sidang pertama, yaitu tanggal 15 Januari, itu jelas kebohongan publik,” katanya.

” Menyampaikan kabar bohong kepada rakyat adalah perbuatan tercela. Yang sesungguhnya terjadi adalah DPR tidak pernah menggelar Rapat Paripurna di bulan Januari dengan agenda memberikan persetujuan terhadap Perppu Cipta Kerja. Yang ada, pada tanggal 15 Januari 2023 DPR baru sebatas menyepakati Perppu Cipta Kerja di forum rapat Pembicaraan Tingkat Satu,” terang dia.

Kelima, tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perppu dengan menggunakan metode omnibus law. Dia mengatakan dalam Pasal 42A UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) diatur bahwa metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam kondisi normal.

Omnibus law tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perppu.

“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah Perppu tidak mungkin dibentuk dengan metode omnibus law karena dia tidak mungkin mampu memenuhi syarat-syarat pembentukan produk hukum dengan metode omnibus law. Di sinilah argumentasi bahwa Perpu Cipta Kerja cacat formil dan harus dinyatakan inkonstitusional menemukan korelasinya,” imbuh dia.

Dalam kesempatan ini, Said menjelaskan pihaknya bakal menghadirkan saksi yang dapat memperkuat dalil yang diajukan.**

Sumber: CNN

 

 

 

Brilliansyah: