Pasca Pengunduran Diri Airlangga Hartarto, Golkar Dalam Genggaman Siluman

JAKARTA, Pewartasatu.com — Pemerhati Politik Emha Hussein AlPhatani mengatakan ada tangan siluman (The invisible hand) yang menyusun strategi untuk menguasai Partai Golkar, bukan hanya pasca pengunduran diri Airlangga Hartarto melainkan sudah sejak beberapa tahun silam.

Tangan-tangan itu, kata Emha, tidak segan-segan untuk menghancurkan partai berlambang pohon beringin tersebut.

Bagi mereka, mengubah aturan yang berlaku dalam tubuh Partai Golkar hanya butuh waktu sebentar melalui Munaslub yang bakal digelar, sebab ajang tertinggi dalam sebuah Parpol untuk mengubah AD/ART hanya bisa dilakukan melalui Munas atau Munaslub atau sebutan-sebutan lainnya.

Emha mengatakan, sejak masih menyandang nama Golongan Karya di jaman Orde Baru hingga berubah menjadi Partai Golkar pasca reformasi, isilah saat yang paling menyedihkan bagi sebuah partai besar seperti Goilkar yang mau diobok-obok oleh kepentingan segelintir orang.

Sementara itu pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai bahwa Wakil Presiden RI terpilih periode 2024-2029 Gibran Rakabuming Raka tidak memenuhi syarat jadi kandidat Ketua Umum Partai Golkar.

Nama Gibran serta merta menjadi perbincangan publik pasca Airlangga Hartarto mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Ketua Umum (Ketum) Golkar melalui keterangan video pada Minggu (11/8/2024).

Pemunculan nama Gibran diserta beredarnya poster Gibran di media sosial yang adanya pernyataan dukungan dari kelompok tertentu sebagai kandidat Ketum Partai Golkar.

“Soal Gibran, ya itu tidak memenuhi syarat kalau dalam aturan (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, AD/ART) Partai Golkar,” kata Ujang seraya menambahkan Golkar dirusak dari luar dan dalam dirusak jika benar Gibran diusung menjadi kandidat ketum.

Sama halnya apabila Joko Widodo yang maju menjadi Ketum Golkar. Sebab, tidak sesuai dengan ketentuan dalam partai berlambang pohon beringin tersebut.

“Jadi Jokowi dan Gibran mungkin telah menanamkan kerusakan gitu ya dalam bangsa ini dan Partai Golkar,” katanya.

Ujang mengingatkan bahwa Golkar punya sejumlah aturan bagi calon ketua umumnya. Di antaranya, sudah lima tahun menjadi pengurus dan lima tahun juga aktif di partai.

Selain itu, menurut dia, ada istilah prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela (pdlt) dalam tradisi Golkar.

Sementara itu, Gibran dan Jokowi diketahui sebelumnya adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan belum bergabung apalagi menjadi kader Partai Golkar.

Oleh karena itu, Ujang mengatakan, skenario yang paling mungkin adalah menempatkan orang Jokowi yang merupakan kader atau pengurus Golkar sebagai ketua umumnya.

“Kelihatannya ini invisible hands ya, tangan-tangan kekuasaan, ya mengarah kepada siapa lagi yang sedang berkuasa saat ini. Ingin mendongkel Airlangga, menempatkan orang-orangnya menjadi katakanlah ketua umum maupun pengurus-pengurus yang lain,” katanya. (**)

Hasyim Husein: