Aktual Featured Opini

Pelayanan JKN Untuk PMI

Timboel Siregar ( Foto : Ist)

 

Oleh : Timboel Siregar, (Koordinator Advokasi BPJS Watch)

Setelah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) no. 2 tahun 2021 tentang Optimalisasi Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, tahun ini kembali Presiden Joko Widodo mengeluarkan Inpres No. 1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Tentunya kehadiran Inpres di program jaminan sosial ketenagakerjaan dan Kesehatan adalah baik, untuk memastikan seluruh rakyat menjadi peserta jaminan sosial sehingga mereka terlindungi ketika mengalami hal-hal seperti sakit, kecelakaan kerja, ter PHK, hingga meninggal dunia (untuk ahli warisnya).

Namun demikian isi Inpres no. 1 tahun 2022 ini mengandung kontroversi, yaitu tidak sesuai dengan amanat UU SJSN yang menyatakan peserta berhak mendapatkan manfaat atas program yang diikutinya. Diwajibkan ikut Program JKN tapi tidak bisa mengakses manfaat JKN.

Paling tidak ada dua kontroversi dari Inpres no.1 tahun 2022 ini, yaitu, pertama, instruksi kepada Kepala BP2MI yang mewajibkan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja di luar negeri kurang 6 bulan ikut program JKN.

Kedua, instruksi yang diberikan kepada Menteri Agama, yaitu mensyaratkan calon jamaah umrah dan jamaah haji khusus menjadi peserta aktif JKN.

Persoalan yang muncul adalah, ketika PMI dan para Jemaah haji dan umrah menjadi peserta aktif dengan membayar iuran JKN, lalu mengalami sakit di luar negeri, apakah PMI dan Jemaah haji dan umrah mendapat pelayanan JKN?

Hingga saat ini sesuai regulasi yang ada, program JKN belum bisa melayani pesertanya di luar negeri yaitu membiayai pelayanan kuratif bagi peserta JKN yang sakit. Jadi bila PMI dan calon jamaah umrah dan jamaah haji khusus diwajibkan menjadi peserta aktif JKN, lalu mereka sakit, JKN tidak bisa membiayai pelayanan kuratif mereka, karena BPJS Kesehatan tidak bekerjasama dengan RS di luar negeri.

Kecuali bila ada regulasi baru yang bisa memposisikan BPJS kesehatan dapat membiayai pelayanan JKN di luar negeri, yaitu bisa diperlakukan dengan mengacu pada regulasi di Perpres no. 82/2018 yang mengatur pembiayaan dengan reimbursemen bila di suatu daerah tidak ada fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Kalau disuruh bayar iuran tapi selama di luar negeri tidak dapat pelayanan kuratif bila sakit, apa manfaatnya buat PMI dan jemaah haji atau umrah, padahal UU SJSN mengamanatkan peserta berhak dapat manfaat JKN.

Lagi pula, khusus untuk para jamaah, bukankah jamaah haji dan umrah sudah wajib ikut Asuransi Perjalanan Haji dan Umrah yang akan menjamin ketika mereka sakit. Kalau sudah ada yang membiayai, ya tidak perlu diwajibkan lagi.

Saya sangat setuju bila PMI kita juga dilindungi oleh BPJS Kesehatan. Kami BPJS Watch terus mendorong agar Pemerintah mampu membangun MoU dengan negara tujuan PMI, yang salah satu isinya adalah dibukanya ruang kerjasama antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dengan lembaga jaminan sosial di negara tujuan, agar PMI kita dapat dilayani oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja).

Hingga saat ini belum ada Lembaga jaminan sosial di negara tujuan membangun Kerjasama untuk melindungi PMI dari sisi jaminan sosial. Hal ini tentunya yang harus terus diusahakan oleh Pemerintah.

Kalau pun kerjasama tersebut belum bisa dibangun, untuk sementara bisa saja sistem reimbursemen biaya pelayanan JKN di luar negeri diberlakukan untuk PMI, tentunya tetap mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang biaya paket INA CBGs.

Program JKN telah memberikan banyak manfaat kepada seluruh rakyat Indonesia, dan oleh karenanya harus terus dilakukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat Indonesia dimana pun mereka berada, terkhusus juga rakyat Indonesia yang ada di luar negeri.

Pinag Ranti, 6 Februari 2022

Tabik

Timboel Siregar

 

 

Leave a Comment