JAKARTA, Pewartasatu.com – Perempuan yang berdaya secara ekonomi memberikan dampak yang sangat besar terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.
Tidak hanya turut meningkatkan kesejahteraan keluarga, tetapi juga meminimalisasi terjadinya kekerasan, eksploitasi anak, dan perkawinan anak yang lekat dengan masalah kemiskinan.
“Bagi para perempuan, pemberdayaan ekonomi tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pendapatan semata, tetapi juga alat untuk memerdekakan diri dari jerat kekerasan dan diskriminasi yang mengikat mereka.”
“Dapat dikatakan perempuan-perempuan yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas ekonomi, termasuk kewirausahaan tidak hanya berkiprah sebagai kekuatan ekonomi bangsa, tetapi juga sebagai bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk menjemput kesetaraan, serta mencapai kemajuan bangsa dan negara,” kata Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Titi Eko Rahayu, dalam Kongres Nasional Perempuan Khonghucu Indonesia (PERKHIN) ke-1 dengan tema “Perempuan Berdaya, Keluarga Sejahtera, Indonesia Jaya, Damai di Dunia”, Minggu (23/10).
Sambutan ini mewakili Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, yang hadir secara daring dan membuka Kongres Nasional PERKHIN ke-1 secara resmi. Selain Titi, turut hadir Ketua Umum Dewan Rohaniawan/Pengurus Pusat Matakin, Budi S. Tanuwibowo; Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat PERKHIN, Suryani; dan segenap pengurus PERKHIN.
Berdasarkan data Sensus Penduduk Tahun 2020, perempuan mengisi 49,42 persen dari populasi Indonesia dan sekitar 54 persennya berusia produktif.
Namun, meski perempuan memegang setengah kekuatan sumber daya manusia bangsa Indonesia, masih terjadi ketimpangan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki.
Hal itu masih terlihat dari berbagai indeks dan data, seperti pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).
“Dengan membuka peluang dan peran serta kelompok perempuan dalam berbagai bidang pembangungan, termasuk ekonomi, kita secara tidak langsung mendorong distribusi sumber daya pembangunan lebih adil dan merata kepada seluruh lapisan. Kesetaraan akan menihilkan berbagai dampak buruk yang muncul akibat mengakarnya budaya patriarki; seperti kekerasan berbasis gender, perkawinan anak, hingga praktik-praktik eksploitasi terhadap perempuan dan anak,” kata Titi.
Titi mengatakan, untuk mengurai masalah-masalah yang melingkupi perempuan, Presiden Republik Indonesia telah mengamanatkan 5 isu prioritas tahun 2020-2024 yang saling terkait satu sama lain. Adapun “Peningkatan Pemberdayaan Perempuan dalam Kewirausahaan yang Berperspektif Gender” menjadi hulu dari program-program prioritas tersebut.
Untuk itu, Titi menegaskan, KemenPPPA terus melakukan upaya-upaya untuk mendukung pemberdayaan ekonomi kelompok perempuan secara luas, seperti perempuan kepala keluarga, perempuan pra sejahtera, perempuan penyintas, baik penyintas kekerasan maupun bencana.
Hal ini dilakukan, antara lain melalui sinergi dengan berbagai kementerian/lembaga dan lembaga masyarakat yang membawahi para perempuan pengusaha serta dunia usaha.
Pada kesempatan tersebut, Titi mengajak seluruh tokoh agama bersama seluruh elemen masyarakat saling bergandengan tangan dalam membantu, menolong, dan menjaga untuk bersama-sama membangun bangsa yang aman, nyaman, sejahtera, dan tenteram bagi semua insan, terutama bagi perempuan yang selama ini masih banyak mendapatkan diskriminasi, stigmatisasi, bahkan kekerasan.
Titi menyampaikan, KemenPPPA juga memberikan penghargaan atas peran serta PERKHIN saat penyusunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bersama dengan berbagai elemen masyarakat.
Mulai dari organisasi perempuan, organisasi keagamaan, masyarakat sipil, dan akademisi. Diharapkan PERKHIN turut berperan strategis dalam memberikan edukasi, pencerahan, dan kesadaran publik terkait UU TPKS.(**)