Pemerintah Selesaikan DIM RUU tentang TPKS

JAKARTA, Pewartasatu.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Bintang Puspayoga bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yassona H Laoly, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, dan Menteri Sosial, Tri Rismaharini selaku perwakilan dari Pemerintah bersama K/L yang terkait secara substansi telah menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan Undang – Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). DIM selanjutnya akan disampaikan kepada Bapak Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara RI.

Dalam Konferensi Pers Progres Penyusunan DIM RUU TPKS oleh Pemerintah, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menuturkan total DIM Pemerintah yang telah disampaikan terdiri dari 588 DIM, dimana jenis DIM-nya yakni 167 tetap, 68 redaksional, 31 reposisi, 202 substansi, 120 substansi baru yang terangkum dalam XII Bab 81 Pasal. Dalam prosesnya, masukan-masukan dalam penyusunan DIM ini telah dihimpun sejak jauh hari di tahun 2020. Demikian juga di pertengahan tahun 2021 diinisiasi oleh KSP dibentuk Gugus Tugas Percepatan Pengesahan RUU TPKS, yang terdiri dari Kemen PPPA, Kementerian Hukum & HAM, Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga penyusunan DIM tersebut sangat dimudahkan.

“Hari ini kami telah menyelesaikan DIM Pemerintah merespon atas naskah RUU TPKS yang sudah kami terima akhir bulan lalu dari DPR. Tadi pagi pukul 9 di Kementerian Sekretariat Negara, kami, empat menteri yaitu Menteri PPPA, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Dalam Negeri, bersama-sama telah membubuhkan paraf persetujuan pada DIM RUU tentang TPKS . Tentunya merupakan harapan besar kami, DIM pemerintah yang telah mengakomodir masukan dari kementerian lembaga terkait,jaringan masyarakat sipil dan berbagai pihak lainnya benar-benar sudah komprehensif menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan,” ungkap Menteri Bintang.

Menteri Bintang menambahkan bahwa secara umum substansi yang disusun oleh DPR ini sudah sejalan dengan komitmen pemerintah dalam upaya melakukan pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual secara komprehensif dan integratif. RUU TPKS yang sebelumnya merupakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah melewati proses yang sulit dan panjang sejak tahun 2016.

“Untuk itu, apresiasi kami sampaikan kepada DPR RI yang pada akhirnya telah mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR pada 18 Januari 2022. RUU TPKS ini penting untuk segera disahkan agar dapat menjadi payung hukum dalam upaya pencegahan dan penanganan TPKS. Pengesahan RUU ini tidak dapat ditunda lagi, karena syarat filosofis, sosiologis, maupun yuridis telah terpenuhi. Tentunya, kami sangat serius dalam menyikapi RUU yang disiapkan oleh DPR RI ini. Kami, tim pemerintah, bekerja siang malam, bahkan di hari libur, sehingga tiada hari tanpa membahas RUU TPKS. Kami tidak ingin rancangan ini nantinya hanya menjadi sebuah dokumen semata, kami ingin tentunya nanti RUU ini implementatif dalam memberikan kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual ,” ujar Menteri Bintang.

Menteri Bintang mengajak seluruh pihak untuk kembali memperkuat komitmen mengawal RUU TPKS ini sampai disahkan, diimplementasikan dan dikeluarkan aturan-aturan turunannya. “Tentunya dalam hal ini, dukungan dari lembaga dan organisasi kemasyarakatan, akademisi dan praktisi hukum, serta rekan-rekan media menjadi sangat penting. Selain itu, dukungan dari masyarakat untuk speak up dan berani melaporkan jika melihat atau mengalami kekerasan seksual juga sangat penting. Maka, marilah bersama-sama kita berjuang untuk mengawal RUU TPKS sampai disahkan dan bisa diimplementasikan nantinya,” ajak Menteri Bintang.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Omar Sharif Hiariej menuturkan setengah pembahasan yang diatur dalam RUU TPKS mengatur terkait tindak pidana dan hukum acara. Berdasarkan inisiatif DPR terdapat 5 tindak pidana kekerasan seksual yang kemudian berkembang menjadi 7 tindak pidana kekerasan seksual yang ada dalam DIM Pemerintah.

“Ribuan kasus yang seringkali kita dengar baik di media cetak maupun elektronik akan tetapi yang bisa dijadikan kenyataan perkara hanya kurang dari 300 kasus atau kurang dari 5 persen dari jumlah kasus yang bisa dijadikan perkara. Ini menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam hukum acara sebelumnya. Untuk itu, tidak ada lagi alasan lagi bagi penegak hukum yang tidak memproses perkara atau tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi jadi, kami sudah mengkonstruksikan hukum acara yang memang itu kemudian lebih mudah dari segi pembuktian dari segi proses dan lain sebagainya,” ujar Wamen Eddy.

Wamenkumham menyebutkan dalam penyusunannya, Pemerintah sudah betul-betul seksama dan teliti menyandingkan dengan beberapa undang-undang yang berkaitan agar tidak terjadi tumpang tindih antara satu dengan yang lain.

“Saya berani menjamin 100% bahwa tidak akan terjadi tumpang tindih dengan undang-undang yang existing. Jadi semua yang belum diatur di dalam undang-undang dan disebutkan oleh saudara itu yaitu diatur dalam undang-undang tindak pidana kekerasan seksual. Dalam RUU TPKS ini Pemerintah mengusulkan bahwa salah satu yang memberatkan pidana apabila kejahatan itu dilakukan secara online, jadi kita tidak secara eksplisit menyatakan apabila pelecehan seksual dilakukan melalui media daring, akan tapi itu dibungkus hanya dalam satu pasal saja bahwa alasan pemberatan pidana apabila antara lain kejahatan itu dilakukan melalui sarana dunia maya atau media elektronik. Menurut kami, itu sudah lebih advance daripada kita harus mencantumkan satu-persatu perbuatan pidana tersebut itu akan menjadi terlalu banyak yang diatur sehingga cukup dengan satu pasal saja,” terang Wamenkumham.

Lebih lanjut, terkait dengan implementasi RUU TPKS ini jika nanti sudah disahkan, Plt Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sugeng Hariyono menuturkan RUU TPKS ini juga turut memastikan dan menekankan kepada konsep one stop service atau sentra layanan terpadu pada tingkat daerah yang diselenggarakan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

“Sentra layanan terpadu ini akan memberikan kemudahan baik kepada korban, saksi, dan keluarga korban untuk melaporkan untuk diproses lebih lanjut sehingga dengan adanya sentral layanan yang terpadu ini dan sesuai dengan arahan presiden pada saat rapat 9 Januari tahun 2020 akan memudahkan untuk penanganannya. Sehingga kalau sekarang kasus kekerasan seperti fenomena gunung es, nanti akan jauh lebih mudah ditangani banyak kasus tetapi dengan adanya sentral layanan terpadu di setiap daerah di kabupaten/kota,” ujar Sugeng.(Maulina)

Maulina Lestari: