Penegak Hukum Harus Bisa Menjelaskan ke Ibu Korban Sertu Marctyan, Prajurit TNI Yang Terbunuh di Timika, Papua

JAKARTA, Pewartasatu.com – Lambatnya penanganan kasus pembunuhan seorang prajurit TNI bernama Sertu Marctyan Bayu Pratama, November 2021 lalu saat bertugas di Timika Papua,membuat geram panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.

Bahkan, Jenderal Andika Perkasa mengatakan mencium ada gelagat tidak beres dalam penanganan kasus pembunuhan ini.

Disisi lain yang ironisnya adalah sang bunda dari Sertu Marctyan Bayu Pratama, Sri Rejeki (50).

Wanita separuh baya, warga Solo, Jawa Tengah ini terus berusaha mencari keadilan, dan mencari tahu kebenaran dibalik kematian putranya saat bertugas di Timika, Papua.

Berkaitan dengan masalah diatas Pakar Kriminologi, DR. Bagus Sudarmanto saat dikonfirmasi Pewartasatu.com mengatakan, kelambanan tersebut bisa saja terjadi dikarenakan terkait proses dalam sistem peradilan pidana yang cenderung mengedepankan kepastian hukum.

“Realitasnya, kalau hanya mengacu pada kepastian hukum, yang hilang adalah rasa keadilan.”

“Nah, bisa jadi inilah yang sedang dialami ibu korban. Ia merasa kecewa, tidak puas, bahkan curiga,”tandasnya.

Menurut DR. Bagus Sudarmanto, pilihan patuh pada kepastian hukum tidaklah salah. Karena penegak hukum lebih cenderung menganut pendekatan positivistik. Sesuai ketentuan yang sudah tertulis.

Politik hukumnya begitu tetapi seyogyanya ‘kepastian hukum’ itu dibarengi ‘rasa keadilan dan ‘ kemanfaatan dari proses hukum itu sendiri.

Oleh karenanya jangan ada kesenjangan atau ‘gap’ — atau setidaknya diperpendek — antara kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatannya.

Oleh sebab itu menurutnya sebaiknya pihak penegak hukum, atau lembaga berwenang yang menangani harus bisa memberikan penjelasan kepada ibu korban dengan transparan dan sesegera mungkin.

“Itu hak dari seorang ibu yang harus dipenuhi, apapun alasannya. Baik secara formal maupun informal,” tegasnya.

dilanjutkannya, jika ibu korban tidak segera memperoleh penjelasan, walaupun kasus ini sudah, dan atau sedang dalam proses peradilan, maka terdapat kesan, bahwa proses ini sengaja menutup ruang untuk melihat dari sisi keadilan itu .

“Ketika ibu korban tidak mendapatkan penjelasan secara transparan, tidak bisa disalahkan jika sampai muncul dugaan dugaan , bahkan kecurigaan,” paparnya.

Padahal menurut sepengetahuannya, rasa keadilan yang dituntut ibu korban sebenarnya adalah resepresentasi dari rasa keadilan masyarakat.

“Suara ibu itu adalah suara masyarakat,’ jelasnya.

Dikatakannya lagi, di era digital seperti sekarang ini, peran masyarakat sipil memiliki kekuatan luar biasa dalam melakukan pengawasan dan membangun opini.

“Hal ini harus menjadi perhatian,”pungkasnya. (*”)

Maulina Lestari: